Pages

Kamis, 07 Juni 2012

TERKENANG LINGGAU



Linggau bagiku adalah kota yang sangat ramah. aku sudah beberapa kali kesana, namun setiap kembali lagi kesana selalu ada kesan mendalam yang kusimpan. Di Linggau, banyak kutemui teman-temanku yang dulu pernah berkarya di Palembang, bahkan ada yang memang berasal dari Palembang. Ada keharuan dan kegembiraan tersendiri saat bertemu mereka di tempat yang berbeda.

Linggau selalu mengingatkanku pada satu organisasi kemahasiswaan, KAMMI. Meski baru bergerak ditataran komisariat, KAMMI Komisariat Al Qassam telah menjalankan roda organisasinya dengan baik, setidaknya tidak terlalu tertinggal jauh dengan komisariat yang berada di pusat pergerakan yaitu Palembang. Terlihat betapa enerjik dan semangatnya mereka saat mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh KAMMI Daerah SUMSEL. mereka terkadang naik kereta api dengan lama perjalanan kira-kira 8 jam. it's amazing (padahal kalau pengurus KAMMDA jaulah juga biasa naik kereta api, terkadang malah kelas ekonomi).

Aku telah beberapa kali kesana atas undangan pengurus komisariat. Ya, sebagai utusan KAMMDA. Tapi tak pernah aku merasa lebih dari mereka. Mereka nyapu, aku juga nyapu. Mereka berpeluh diterik matahari siang hari saat outbond, aku juga sama. Mereka makan nasi bungkus, aku juga tak mau dibedakan. Bahkan aku dan Ayie (temanku yang juga utusan KAMMDA) tak segan tidur beralas lantai satu ruangan dengan panitia. Kami melakukan semuanya dengan bahagia. Dan kami juga tidak menutup mata bahwa mereka berusaha dengan keras untuk memberikan layanan yang terbaik. Sungguh, mereka membuatku terharu. Tapi tentu saja aku tahu, bahwa kami yang diutus ini sedianya adalah pelayan, pelayan ummat.

Aku ingat ketika salah seorang pengurus komisariat terlihat sangat repot menyediakan ini itu dan tetek bengek untuk melayani kami. Aku sempat menolak dengan halus dengan mengatakan tidak perlu repot-repot, kami tidak mau merepotkan. Jawaban mereka sangat berkesan sekali bagiku: mbak, kata bibiku, kalau tidak mau merepotkan orang lain, tidak usah berkawan dengan orang. Asli, setelah itu aku pasrah saja mereka mau berbuat apa. yah, mau bagaimana lagi? mereka termasuk orang-orang yang ngotot dalam kebaikan. Terima kasih ya teman-teman KAMMI Komisariat Al Qassam especially Geger, Desri, Silvi, Emilda.

Pada suatu kesempatan, lagi-lagi KAMMDA mengutus aku dan satu temanku yang lain yaitu Umi untuk menghadiri musyawarah komisariat (Muskom). Citra tentang Linggau masih tetap sama. Namun, kami menjadi semakin akrab. Pada detik inilah, kami bisa menikmati keindahan kaki Bukit Sulap. lagi-lagi it's amazing!

Sampai sekarang, bagiku Linggau adalah kota yang ramah, meski aku tak tahu kapan ditakdirkan untuk kembali kesana. Ada banyak wajah yang kucinta, mereka adalah orang yang hatinya baik lagi tulus. Mereka adalah orang yang begitu kami datang, mereka menyambut dengan air wajah yang bahagia. Bahkan ketika kami pulang pun wajah tulus mereka masih tetap terpancar disela-sela wajah letih setelah tiga hari melaksanakan dauroh (pelatihan). Senyum mereka selalu kusimpan dalam-dalam. Mungkin senyum mereka jua yang membuat kerinduanku membuncah. Rasanya ingin kembali ke Linggau. Kembali ke kota yang ramah. Kota yang hangat.

Apa kabarmu hari ini duhai Linggau? Sungguh aku benar-benar merindukan beberapa wajah yang kau kandung.

Tugumulyo OKI, 7 Juni 2012 pk.23.00 WIB












Rabu, 06 Juni 2012

AKU CINTA KAU




Oleh: Rika Januarita Haryati

Aku cinta kau, Hujan
Bukan karna dingin guyuranmu
pada gersang wajah
Bukan karna gagahmu
meluluhlantakkan setiap kepingan hati

Aku tahu, Kau
Memesona mata
Kau, berharga
Kau, setia

Namun bukan karena itu aku cinta kau
Bukan pula karna aku tak bisa hidup tanpa kau
Sungguh bukan..

Aku cinta kau, Hujan..
Karena kau tak henti membagi cinta
Menaburkan rahmatNya
Dan menyentuh hatiku dengan lembut

Meski terkadang kau garang, hujan
Sungguh, cintaku takkan berkurang,
Kan tetap karang

Aku cinta kau...
Hujan

Jumat, 01 Juni 2012

COKLAT


Oleh : Rika Januarita Haryati

Coklat
Tanahmu,
Tempat berpijak
Ia mengajarkan kesederhanaan
Ia menawarkan persahabatan

Coklatmu,
Ia pun menyelipkan kebahagian
Manisnya menghilangkan rasa sakit
Lalu menenangkan

Ia yang bertahta di kulit kayu pepohonan
Gurat kematangan
Melukis ragamnya pengalaman kehidupan
Panas hujan tiada menghadirkan kebimbangan
Ia kan tetap berdiri tegak disana
Menantang badai angkara
Hingga tiba masa undur diri dari semesta

Coklat,
Ialah kekasihmu
Yang setia menunggumu
Di sebalik gundukan tanah basah

Ia yang tak pernah ragu memelukmu
Saat sepi mendekap rapat

Dan hanya ia jua
Sejawat paling karib
Di masa depan

Timbangan Ogan Ilir, 21 April 2011. Pk.06.45 WIB

KISAH CINTA HAJAR DAN IBRAHIM

Oleh: Rika Januarita Haryati

Pernahkah kau mendengar kisah cinta yang mengharu biru? Mungkin Romeo and Juliet menjadi andalanmu? Atau kisah Jack and Rose dalam Titanic? Menurutku, daripada kedua cerita diatas, lebih mengharukan kisah cinta Srintil dan Rasus dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Namun, aku tak hendak membicarakan kisah-kisah itu semua. Disini, ada kisah yang luar biasa menantang emosi. Bukan sekedar kisah kiraan. Nyata, bahkan tersimpan dalam kitab. Abadi.

Lelaki itu barusaja mempunyai seorang anak. Anak lelaki kebanggaan. Anak yang telah ditunggu-tunggu kehadirannya. Bahkan 80 tahun lebih usianya menggurat kerinduan. Dan, baru sekarang Allah mengaruniakannya padanya. Anak. Lelaki. Sukacita, kebahagiaan seolah tak habis memenuhi setiap jengkal kehidupannya. Ia begitu sayang pada anak serta istrinya.

Lalu sang lelaki mendapat mendapatkan pesan terpercaya untuk berkunjung ke Mekkah. Sang lelaki diharuskan membawa serta istri dan anaknya yang masih merah dalam buaian. Ia berangkat dari Palestina menuju Mekkah.

Sesampainya di lembah Mekkah, sang lelaki diharuskan meninggalkan anak dan istrinya. Matanya seketika berkeliling. Hatinya ia besar-besarkan. Jikalau bukan karena iman, takkan mungkin aku tinggalkan mereka kepadamu hai padang pasir panas, gunung batu, tanah gersang. Selaiknya tanah yang tiada kehidupan, Ia berbisik dalam hatinya.

Sang lelaki berbalik. Bersiap kembali ke Palestina. Tiba-tiba istrinya bertanya: “wahai lelakiku, akankah kau tinggalkan kami di sini? Mengapa?” sang lelaki terdiam. Hatinya berdebaran. Sang istri bertanya kembali. Sang lelaki hanya diam. Lalu sang istri kembali bertanya hal yang sama. Dan sang lelaki terdiam untuk ketiga kalinya.
“Allah amaruka bihadza?” Sang istri mencoba menyelami pikiran lelakinya. Sang istri tahu, lelakinya adalah seorang yang terpercaya, bertanggung jawab dan penuh kasih sayang.
Apakah Allah yang memerintahkan ini kepadamu? Sang istri masih menelisik gurat kesedihan di wajah lelakinya. Ia melihat, wajah lelakinya memandang langit.
“Allah...”, lelakinya berkata perlahan.
“Kalau begitu hai lelakiku, Allah tidak akan sia-siakan kami. Berangkatlah. Janganlah pikirkan kami. Allah akan menjaga kami. Berangkatlah hai lelakiku.”

Sang lelaki pergi. Ia telah tinggalkan anak dan istrinya di daerah Hudai. Ia selalu menoleh ke belakang, namun tempat tersebut telah terhalang oleh bukit. Airmatanya jatuh. Sang lelaki memanjatkan doa;
"Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah tempatkan sebagian dari keturunanku di lembah yang tak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau yang suci, ya Rabb kami yang demikian itu agar mereka mendirikan sholat, maka jadikanlah hati sebagian manusia condong kepada mereka, dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur (Q.S Ibrahim : 37)."

xxx

Setelah 4 tahun berlalu, sang lelaki baru diperbolehkan untuk melihat kondisi anak dan istrinya. Namun, Ia hanya boleh melihat dari jauh. Mekkah telah berubah menjadi kampung kecil. Istrinya telah mempunyai rumah, kambing dan telaga. Serta penduduk disana menghormati anak dan istrinya.

Empat tahun kemudian, sang lelaki diperbolehkan menjenguk anak dan istrinya dari dekat, namun ia tidak diperbolehkan turun dari kendaraan. Istrinya mengharu biru melihat kehadiran suaminya yang telah ditunggunya selama 8 tahun. Ia mempersilahkan suaminya turun dari kendaraanjj(tunggangan).
“ turunlah wahai lelakiku. Kita sekarang sudah punya rumah, punya telaga zam-zam, roti dan daging. Ayo turun dan masuklah...”
sang lelaki hanya diam. Ia tak lekas turun dari kendaraannya. Sang istri mengulang kembali perkataannya, sedang sang lelaki tetap tak bergeming.
“Allah amaruka bihadza?” Sang istri mengulang pertanyaannya 8 tahun yang lalu.
“Iya, ini perintah Allah. Aku diperbolehkan menengokmu, tapi aku belum diperkenankan untuk turun dari kendaraan ini.” Sang istri tersenyum. Ia tahu, suaminya bukan lelaki biasa.
“Wahai lelakiku, kalau aku membasuh mukamu, membasuh kakimu, membasuh tanganmu membersihkan tubuhmu dari debu-debu dengan air zam-zam ini, dilarang atau tidak?."
“Tidak...” maka sang istri bergegas membasuh tubuh lelakinya dari debu-debu perjalanan.
Sang lelaki tak mampu lagi membendung airmatanya. Maka ia meminta istrinya untuk membasuh mukanya dengan air zam-zam tersebut. Sehingga airmatanya dapat luruh bersama air zam-zam yang membasahi mukanya.

Kurang lebih empat tahun kemudian, sang lelaki kembali datang ke mekkah. Namun kali ini ia turun dari kendaraannya. Bahkan Ia pun bertemu dengan lelaki yang teramat Ia rindukan. Ismail. Putranya gagah. Terlihat kedewasaan yang matang dari sinar wajahnya. Ia dekap erat sang putra tersayang. Ia dekap pula perempuannya. Sungguh, ia mencintai keduanya. Namun sungguh, cinta kepada keduanya tertaut atas nama cinta kepada Rabbnya. Ia yakin Rabbnya tak akan menyia-nyiakan cinta mereka.

Ujian cinta, siapa yang tak pernah melaluinya? Siapa yang tak pernah diuji dengannya? Siapa yang tidak pernah jatuh kedalam cinta? Siapa? Adakah? Tidak. Bahkan setegar Ibrahim pun harus melalui ujian ini. Untuk membuktikan cinta sucinya kepada Rabbnya. Apakah istri dan anak akan melalaikan dari cinta sejatinya? Subhanallah, ternyata tidak. Justru cinta semakin semarak, memenuhi rongga jiwanya. Syahdan. Selamat dan shalawat untukmu duhai ayahanda kami Ibrahim. Kami merindukan sosok kepala keluarga sepertimu. Yang benar-benar mencintai atas nama cinta kepada Rabb semesta alam.

Barakallah duhai Ibunda Hajar. Cintamu adalah cinta yang menguatkan. Bukan cinta yang rapuh dan usai atas ketidakberadaan belahan jiwa disisimu. Cintamu adalah cinta yang menyegarkan meski berpuluh tahun waktu memisahkan. Cintamu adalah kesetiaan yang tak habis meski kau harus bertahan sendiri. Seperti lelakimu, cintamu adalah atas kecintaan kepada Rabb dari lelakimu.

Barakallah, Ismail. Lihatlah, ibunda dan ayahandamu adalah manusia terpilih. Wajarlah jika karaktermu pun mengguratkan dan menyiarkan bahwa kau adalah lelaki yang dewasa dan matang. Karena kaupun adalah manusia terpilih. Selamat dan salam takzimku atas kalian. Keluarga penuh cinta dan keberkahan.

GURAT USIA

Oleh: Rika Januarita Haryati

Usia adalah catatan atas ukuran seberapa lama kita berada disini, di bumi ini. Usialah yang menjadi garis-garis pembatas dari bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa da tua. Meskipun ukurannya tidak ditetapkan secara rigid. Namun kita semua tentu sepakat bahwa umur 25 tahun adalah usia kita haruslah mandiri, karena kita tidak lagi dihitung sebagai anak-anak ataupun remaja. Orang menyebutnya pemuda atau dewasa.

Usia adalah ukuran kapan kita mulai menanggung beban tanggung jawab. Semakin bertambah usia, diharapkan semakin banyak dan berat amanah yang harus dipikul oleh pundak kita. Tentu, kita selalu berharap bahwa kekuatan kita semakin bertambah seiring dengan bertambahnya usia yang masih setia membersamai kita.

Usia adalah ukuran bagi seseorang untuk menyematkan tanda atau gelar panggilan kesopanan dan kesayangan. Apakah harus dipanggil kakak, adik, bapak, ibu, kakek ataupun nenek. Namun, banyak kita mencoba menipu usia. Bisa jadi seseorang berpenampilan sangat muda dari kita padahal usianya jauh melampaui kita. Bisa jadi juga seseorang berperawakan lebih tua, namun usianya ternyata lebih muda dari kita. Maka dengan melihat riwayat usia, kita tak akan tertipu.

Memang, seseorang yang hidup dalam medan yang keras akan membuatnya terlihat lebih dewasa dari umur sebenarnya. Banyaknya pengalaman hidup ataupun beban hidup yang sangat berat akan menjadikan seseorang terlihat lebih matang. Maka senyum yang setia dalam keseharian merupakan penyeimbang agar umur tak terlihat terlalu menanjak jauh.

Tentu, usia bukanlah ukuran bagi kebahagiaan. Belum tentu orang tua lebih bahagia dari yang muda. Begitu pula sebaliknya. Terkadang, usia dapat menjebak kita. Kita selalu senang untuk tampil lebih muda. Maka apapun akan dilakukan oleh sebagian dari kita agar terlihat lebih muda. Maka, berhati-hatilah jika akhirnya kita hanya disibukkan oleh permasalahan tersebut. Karena kita akan sibuk sendiri. Menghabiskan waktu, dan memutar otak untuk menipu diri sendiri dan orang lain.

Lalu, berapa usiamu sekarang? Aku telah melampaui seperempat abad. Namun beragam pertanyaan berjejalan di kepalaku. Apa yang telah aku persembahkan untuk agamaku, keluargaku, bangsaku, negaraku, sahabat-sahabatku, dan untuk diriku sendiri? Sebagian besar waktu telah dihabiskan untuk apa? Lebih banyak hal yang positif ataukah yang negatif? Selama ini aku telah disibukkan oleh apa? Kebaikankah atau hal yang sia-sia? Dan hal yang krusial, sudah berapa ayat-ayat Alquran yang telah kuhafal? Berapa lagi yang telah kuamalkan?

Maka, kebahagiaan tak terhingga ketika para sahabat mendoakan aku agar memiliki usia yang barokah. Sungguh, akupun turut berdoa yang sama teruntuk semua yang telah sudi membagi waktunya sedikit untuk mendoakanku. Ada keharuan dan rasa terima kasih yang mendalam.

Usia ini tak selamanya akan terus terukir di bumi. Ada batas masa yang kita telah tiba kita menyebutnya tutup usia. Namun, kita tak pernah tahu kapan pastinya. Yang kita tahu, tutup usia itu pasti. Penuh misteri dan tak seorangpun sanggup membongkarnya. Namun kita selalu berharap setiap tarikan nafas kita dapat menuai ganjaran pahala. Dari waktu pula kita dapat membasuh keburukan yang pernah kita toreh dengan istighfar.

Sungguh, Allah Maha Baik. Dia selalu menyediakan penawar bagi setiap keburukan atau kekhilafan yang kita perbuat. Istighfar adalah obat. Sholat adalah obat. Shaum (puasa) adalah obat. Bahkan komat-kamit dzikir kitapun adalah obat. Sedekah, bangun malam dan menangis dalam kesunyian pun dapat menjadi obat. Hidup kita benar-benar dahsyat.

Ya, usia kita boleh tua, tapi tidak dengan jiwa kita. Kita harus merasa selalu muda. Agar lebih bersemangat dan energik. Seperti harapan kita yang selalu segar dan muda.

Pertambahan usia adalah karunia, jika seiring pertambahannya diiringi kebijaksanaan yang menggurat. Semakin tua, membijaklah kita dalam memecahkan setiap persoalan. Semakin tenang gelagat kita dalam merespon setiap perkara yang menghantam kita. Selalu berupaya mencari hikmah dibalik kesulitan yang telah bertandang. Sungguh, menjadi tua tentu lebih baik. Jikalau kebijakan dan kebajikan hidup hanya bisa kita hadirkan saat usia bertambah.

Kita mengaku, usia kita bertambah sudah. Namun jatah hidup kita berkurang. Maka, ibarat musafir kita tidak boleh kekurangan bekal karena perjalanan ini sangat jauh dan panjang. Sejauh ini, guratan apa yang telah kita ukirkan dalam pahatan usia kita? Jika masih belum ada, maka hari inilah kesempatan yang sempurna untuk mengukirnya. Karena bagi Allah, tak ada kata terlambat. Kecuali nafas telah berada di kerongkongan.

Tugumulyo OKI, 14 Januari 2012

Note: Catatan biasa dan tak ada yang spesial.

AKU BENCI BASA BASI

Oleh: Rika Januarita Haryati

Pernah seseorang menanyakan kabarmu? Pernah kau ditawari makan? Pernahkah juga seseorang mengajakmu bicara tentang pribadimu? Dan taukah kau bahwa semua itu sebagian besarnya hanya sekedar basa basi? Bagiku, tidak masalah basa basi yang demikian. Setidaknya hal tersebut menunjukkan bahwa kita tidak cuek dengan lingkungan sekitar kita.

Setidaknya kita masih sadar bahwa ada seseorang di samping kita. Mana bisa kita asyik menikmati makanan sendirian, padahal tepat di samping kita ada orang lain yang tidak makan. Selapar apapun kita, pasti kita tergerak untuk menawarinya makan bersama. Apapun jawabannya nantinya. Bahkan ketika Ia mengiyakan tawaran kita tersebut, maka kita telah rela untuk membagi apa yang sudah kita tawarkan padanya. Meski awalnya hanya basa basi. Merasa tidak enak hati. Aku menilai, setidaknya kita telah bersedia berkorban dengan menawarkan sesuatu. Artinya lagi, kita mengakui keberadaan seseorang didekat kita tersebut. Meski kita tidak mengenalnya. Lebih-lebih jika kita mengenalnya.

Namun, bagaimana jika basa basi itu terkait dengan amanah. Pernahkah ada seseorang yang menawari mu amanah dalam struktur organisasi masyarakat non profit ? lalu kau mengiyakan. Kau berpikir bahwa siapa tahu pikiranmu yang sederhana dapat berguna disana. Kau pun sempat membayangkan bahwa dengan cara itulah kau akan bergerak bersama rakyatmu, masyarakatmu. Membina hubungan mesra sesama masyarakat jelata dan termarginalkan. Membangun komunikasi intens untuk menyebarkan fikroh-fikroh agung. Mencerahkan warna kehidupan masyarakat di sekitarmu.

Ya, cita-citamu sangat mulia. Kau ingin segera melaksanakan titah dari visi misi organisasi yang kau geluti. Kau sudah merancang akan berbuat apa demi kemaslahatan bersama. Namun, kau hanya bisa terkejut luar biasa. Saat mendapati nahkodamu melayarkan bahtera sesuka hatinya. Tanpa peduli pada pedoman Anggaran Dasar dan Anggaran Ruman Tangga yang ada. Berlabuh dimana saja sampai berbulan-bulan. Lalu sesekali kembali berlayar. Lalu kembali berhenti di dermaga sunyi tanpa cita sampai-sampai kau mengira bahwa dirimu telah mati. Lalu tiada kabar kapan kapal akan kembali berlayar. Sampai kau sempat berpikir bahwa kapalmu telah usang dan karatan terkikis usia.

Namun, kau selalu berusaha melayarkan kembali. Kau jahit sedikit demi sedikit layar yang robek. Kau seru semua awak agar bersama-sama berjibaku membenahi kapal. Kau usulkan program-program pada nahkoda agar seluruh awak dapat berkumpul membahas apa saja yang prioritas dibenahi. Nahkodamu setuju. Tapi hanya sebatas setuju. Selebihnya adalah tanggung jawabmu. Selebihnya adalah langkah kerja nyata yang melatih kesabaranmu. Selebihnya adalah bulir air mata dan butir keringat yang mengering tersengat terik yang gersang.

Apakah pernyataan setuju bisa dilakukan karena basa basi? Ya, itu mungkin. Bukankah jika bukan basa basi kau takkan bekerja sendiri? Bukankah jikalau kata-kata itu keluar dari jiwa maka ragamu akan tergerak dengan luwesnya? Jika hanya berkata: lakukan yang bisa kau lakukan, kerjakan yang terbaik yang bisa kau kerjakan, lalu kata-kata tersebut tak di lakonkan, tiada diteladankan, bagaimana kita mengerti dengan bijak arti kata-kata puitis tersebut? Jikalau hanya bicara, bukankah burung beo pun bisa?

Lalu, bagaiman lagi jika telah terlanjur berkata “ya”, namun dalam tindakan seolah berkata “tidak”. Basa basikah ini? Masya Allah. Sungguh, hal ini bisa jadi telah memasuki arena ingkar janji.
Ah, ternyata amanah ini hanyalah topeng belaka. Namun kau tak mengerti untuk menutupi dari apa. Kehadiranmu tidak lebih hanya sekedar hiasan belaka. Agar jikalau terjadi peperangan kaulah yang maju pertama-tama. Agar kau pasang badan saat kondisi berubah mencekam dan menakutkan.

Lihatlah, kaum tua memarahimu karena begitu lamban bergerak. Mereka menyudutkanmu karena terlalu menunggu aba-aba dari sang nahkoda. Mereka mencercamu bahwa kau telah mengkhianati amanah. Mereka menudingkan jemari ke mukamu sambil memperingatkan, “hati-hati, amanah inilah yang nantinya akan kau sesali. Maka sebelum terlambat perbaikilah. Jikalau perlu, lengserkan segera nahkodamu. Carilah yang benar-benar bisa melayarkan kapal dengan keberanian. Tak takut badai. Tiada takut karang. Dan tetap waspada menjaga kapal agar tetap berlayar sebagaimana mestinya. Bukan yang sebentar berlayar, lalu berbulan-bulan karam tanpa kepastian.” Kau hanya terdiam sambil tergugu. Lalu batinmu menjerit, Ya Allah, ampunilah aku yang lemah ini.

Lalu tengoklah di sebelah sana. Kaum muda memberontak padamu. Mereka tangkis segala kata-kata permintaan maafmu. Mereka menghujanimu dengan selaksa tanda tanya. Sampai tiada satu pun yang bisa kau jawab. Ya, kau tidak tahu apa-apa. Kau hanya tameng belaka. Dengarlah, satu persatu kaum mudamu berkeluh kesah. Bahkan mereka tak segan untuk berkata sambil bermuka masam. Kau hanya bisa tersenyum sambil menghela nafas dalam-dalam. Tapi mereka tak peduli. Kau adalah tempat pelampiasan segala kemarahan yang terpendam atas segala kebosanan dalam penantian.

Kau ingin berteriak. Kau ingin berkata bahwa kau bukan kader inti dalam kapal. Kau tidak tahu apa-apa. Pada merekalah seharusnya kalian bertanya. Mengadu. Meracau. Bahkan kalian bebas menampakkan muka paling kecut sekalipun. Karena sesungguhnya amanah ini tidak diberikan kecuali pada mereka yang telah mencapai maqomnya. Amanah yang telah disepakati didalam sidang kerajaan. Mereka yang senantiasa sanggup memanggul pedang panjang di tangannya. Mereka adalah Athos, Porthos dan Aramis. Tahukah kau siapa mereka? Ya, merekalah three musketeers organisasi ini.

Lalu kau berusaha untuk bersikap dewasa meski sebenarnya kau hanyalah pemuda bahkan pemula. Atau pemuda yang pemula. Atau malah kau tidak tahu menahu letak gerbongmu yang sebenarnya. Kau hanya berjanji ingin menuntaskan amanah ini dengan terpuji. Dengan gentle. Bukan mencari sensasi apalagi mencari aman untuk karir di masa depan. Bukan pula bersembunyi di bayang-bayang legenda masa lalu agar semua orang mencarimu. Apalagi jikalau bersembunyi di balik kata jamaah. Sungguh, kau tidak akan mengerti pembahasan tersebut. Rasanya lebih baik otakmu mencuat ke permukaan agar tak sempat menjadi gila.

Satu pertanyaanmu yang tak kan pernah kau tanyakan. Benarkah ketergantungan kita pada bapak dan ibu menentukan kapan kita mandi, makan, bahkan kencing dan berak? Apakah setiap saat kita harus meminta izin pada keduanya sampai kita mendengar persetujuannya? Ah, ini memang pertanyaan jorok dan konyol. Tapi setidaknya itu adalah pengibaratan yang sangat relevan untuk orang tolol sepertiku agar mampu mencernanya.

Sekarang kau hanya bisa tersenyum. Miris dan meringis. Ah, betapa kejamnya berbasa-basi dengan amanah.

Indralaya OI, Juni 2011

BAHAYA DINASTI POLITIK BAGI DEMOKRASI KITA

Dinasti politik merujuk pada sistem absolut kerajaan, yang menjadikan keturunan atau kerabat sebagai pemegang estafet kekuasaan selanjutnya. Ternyata dalam alam demokrasi, sistem dinasti politik ini tetap menjadi sumber inspirasi para elit atau aktor politik.

Sebenarnya, hal yang lumrah dan dapat diterima jika regenerasi kepemimpinan politik dilakukan secara terbuka, fair, jujur dan prosedural. Profesional dan berwibawa. Mengikuti rules of the game yang telah dibakukan. Maka di negara-negara demokrasi yang sudah mapan pun, dinasti politik akan ditemukan. Kita mengenal dinasti Downer di Australia, dinasti Kennedy dan Bush di Amerika, dinasti Bhuto di Pakistan, Gandhi dan Nehru di India.

Namun untuk di Indonesia, pembangunan dinasti politik jauh dari nilai-nilai itu. Disinyalir dinasti politik di Indonesia semata-mata karena sejumlah elit politik kita terkena post power syndrom. Yakni hasrat untuk terus berkuasa. Setidaknya, meski tidak lagi menjabat, para elit tersebut dapat terus mengendalikan permainan di kancah perpolitikan. Tetap menguasai penguasa.
Sehingga para elit dan aktor politik, baik di tingkat nasional maupun lokal berlomba-lomba menyulap keturunan ataupun kerabatnya sebagai pemeran penting di kancah perpolitikan bangsa. Agar hegemoni kekuasaan yang selama ini melingkupinya dapat terus dilanggengkan.

Sesungguhnya praktik dinasti politik ini telah sukses dijalankan oleh Soeharto pada masa Orde Baru. Ia mempersiapkan Siti Hardijanti Rukmana, yang lebih dikenal dengan panggilan Mbak Tutut, sebagai ujung tombak dinasti politiknya. Ia mengangkat Mbak Tutut menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Pembangunan VII serta aktif di Golkar. Soeharto pun mengangkat orang-orang yang akan melanggengkan kekuasaanya sebagai partner politiknya. Pelabelan Keluarga Cendana adalah bukti betapa kuatnya Soeharto memberlakukan praktik nepotisme.

Lalu pasca Soeharto, Indonesia menjadi ladang subur bagi pembangunan dinasti politik, baik di lembaga legislatif maupun di eksekutif, di pusat ataupun di daerah.

Bukan hanya di tingkat legislatif di pemerintahan pusat saja yang lagi terkena ‘demam’ dinasti politik tetapi di tingkat eksekutif tingkat daerah juga mengalami ‘demam’ yang sama.
Tercatat di tahun 2010 yang melaksanakan 244 Pemilukada, yaitu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Sumatera Barat Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau dan Jambi. Sisanya sebanyak 202 Pemilukada Kabupaten dan 35 Kota pada 32 Provinsi.

Politik dinasti di Pemilukada ini bisa dilihat dari tampilnya para istri menggantikan suami, seperti (1) Sri Suryawidati menjadi Bupati Bantul menggantikan suaminya, Idham Samawi; (2) Widya Kandi Susanti menggantikan suaminya, Hendi Budoro, sebagai Bupati Kendal; (3) Anna Sophanah menjadi Bupati Indramayu menggantikan suaminya, Arianto MS Syafiuddin (Yance); dan (4) Haryanti Sutrisno, menggantikan suaminya, Sutrisno, menjadi Bupati Kediri.

Selain itu, ada juga anak yang menggantikan ayahnya seperti Bupati Kutai Kartanegara, Kaltim, Rita Widyasari yang menggantikan Syaukani Hasan Rais, dan Wali Kota Cilegon, Banten, Tubagus Imam Ariyadi yang menggantikan Tubagus Aat Syafaat. Selanjutnya ada nama Rycko Mendoza, putra Gubernur Lampung Sjachruddin ZP yang terpilih sebagai Bupati Lampung Selatan. Masih di Lampung, ada anak Bupati Tulang Bawang, Aries Sandi Dharma yang terpilih sebagai Bupati di Pesawaran.

Bagaimana di Sumatera Selatan ? sama saja. Di DPRD Provinsi periode sekarang saja, terdata beberapa orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat daerah atau mantan pejabat daerah, diantaranya ada nama Lily Martiani Maddari dari Partai Golkar yang merupakan istri Riduan Mukti, Bupati MURA. Ada juga Lucianty Pahri yang merupakan istri dari Bupati MUBA, Pahri Azhari

Selain itu, ada juga Yan Anton Ferdian yang merupakan putera Bupati Banyuasin, Amiruddin Inoed, serta Nadia Basjir yang merupakan puteri dari mantan Ketua DPRD Kabupaten Banyuasin periode 2004- 2009, Basjir DA.
Begitu juga, dari Fraksi PDIP Giri Ramanda Kiemas, putera dari Nazaruddin Kiemas anggota DPR RI dari PDIP. Serta Susanto Adjis Saip,yang merupakan putera dari politisi senior yang juga mantan Ketua DPRD Sumsel dari PDIP, Adjis Saip,
Begitu juga di level eksekutif. Yang paling gress adalah ambisi seorang Dody Reza Noerdin, putra Gubernur Alex Noerdin yang mau maju dalam Pemilukada MUBA, 27 September 2011 nanti.

*********

Ada yang berpendapat, politik dinasti tak ada masalah dalam sistem demokrasi. Bahkan ada yang mengatakan, antara keduanya tak bisa dikaitkan secara langsung. Seorang istri tak bisa disebut menggantikan jabatan suaminya, atau anak mewarisi jabatan ayahnya. Karena baik istri maupun anak, memperoleh jabatan itu lantaran dipilih langsung rakyat. Disebut politik dinasti jika istri atau anak itu mendapat jabatan karena ditunjuk atau ditetapkan, bukan dipilih.

Pendapat ini, bisa benar, bisa juga salah. Benar jika demokrasi semata-mata dilihat secara prosedural. Tetapi salah karena secara substantif, politik dinasti bertentangan dengan demokrasi. Setidaknya ada delapan argumen yang bisa dikemukakan betapa politik dinasti bertentangan dengan demokrasi, atau setidaknya menjadi hambatan yang serius bagi demokratisasi di negara ini yang masih berada pada fase transisi.

Pertama, politik dinasti mengabaikan prinsip-prinsip pemilihan umum yang fair. Para kerabat yang menggantikan posisi incumbent sudah pasti akan mengambil manfaat, sekurang-kurangnya popularitas. Pemanfaatan yang paling berbahaya terjadi jika otoritas dan fasilitas incumbent disalahgunakan secara maksimal untuk memenangkan para kerabat.
Kedua, politik dinasti akan menjadi hambatan serius bagi terealisasinya hak-hak politik rakyat yang seharusnya memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam memperoleh dan memanfaatkan jabatan politik.

Dan, ketiga, politik dinasti juga bisa merusak sistem kaderisasi partai politik. Penguatan institusionalisasi politik kepartaian menjadi terhambat karena peluang kader-kader terbaik partai diambil alih para kerabat yang baik dari segi kuantitas kaderisasi maupun kualitas sebenarnya belum memenuhi persyaratan.

Keempat, dapat menghambat laju demokrasi. Sebagai negara yang katanya demokratis, sudah seharusnya negara kita memiliki berbagai tipe kepemimpinan yang unggul. Hal ini didapatkan dari hasil kepemimpinan masing-masing elit yang memegang tampuk kekuasaan. Rakyatlah yang mengevaluasi kebaikan dan kelebihan setiap pemimpin lalu meramunya sehingga dapat dijadikan rekomendasi untuk kepemimpinan selanjutnya. Adanya praktik dinasti dalam berpolitik hanya akan menyajikan gaya kepemimpinan yang sama saja dari sebelumnya.

Kelima, praktik tersebut dapat mengamputasi regenerasi kepemimpinan yang lebih meluas. Generasi yang tidak memiliki back up politik yang kuat akan kesulitan berkompetisi di panggung politik. Kita akan kesulitan melahirkan pemimpin dari kalangan rakyat biasa. Meskipun ia memiliki pemahaman politik yang baik. Karena semua pos vital dan strategis telah terisi oleh keluarga politikus sebelumnya. Kita akan sulit menemukan wajah segar politikus baru.

Keenam, dinasti politik dapat menyebabkan "tersetir"nya kebijakan yg harus diambil pemerintah demi langgengnya kekuasaan satu-dua kelompok tertentu. Yang pastinya, kita akan semakin sulit untuk benar-benar berdemokrasi. Aktor politik dan kebijakan yang ada, sulit untuk dipastikan terbebas dari kepentingan sebagian golongan bahkan orang perorangan.

Ketujuh, tradisi dinasti ini akan semakin membuka dan memperbesar "celah" bagi Korupsi-Kolusi-Nepotisme.
The last, kedelapan, dinasti politik mampu mengubah tekstur demokrasi sedemikian rupa sehingga bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, program dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan.

(RJH/SRS : dari berbagai sumber)

NASIB KERUPUK

Oleh: Rika Januarita Haryati


Ada seorang pedagang begitu gencar mempromosikan dagangannya yaitu kerupuk. Tidak ada kata lain yang keluar selain kerupuk. Mulutnya sampai berbusa-busa karena berkali-kali mengulang kata kerupuk, tanpa jeda. Orang-orang datang, tapi bukan untuk melihat kerupuk, mereka berdesak-desakan untuk melihat barang dagangan yang lain yaitu coklat, wafer, dan permen.

Mereka tahu, ketiga barang tersebut jauh lebih mahal daripada kerupuk. Bahkan harga coklat bisa beberapa kali lipat untuk ukuran yang kecilnya saja. Dan memang, harga kerupuklah yang paling murah. Tapi tetap saja, para calon pembeli tidak tertarik pada kerupuk. Mereka berteriak minta ambilkan coklat, ada yang minta wafer dan ada juga yang lebih memilih permen. Dari sekian banyak pembeli, tak ada satupun yang menyebut kerupuk.

Pedagang mengeraskan suaranya diatas rata-rata suara pembeli. Sehingga lagi-lagi kata kerupuk mendominasi. Para pembeli pun merasa tertantang untuk menaikkan volume suaranya sampai beberapa oktaf..permen, coklat, wafer, itu saja yang mereka suarakan sembari menunjuk coklat, wafer dan permen yang masih terbungkus dengan manisnya.

Pedagang menjadi kalap. Pembeli tidak peduli. Bahkan ada yang berani menginterupsi pedagang, sehingga mau tidak mau pedagang menjadi diam. Saya mau coklat, kata seseorang. Saya mau permen, kata yang lain. Saya suka wafer, kata seseorang yang lain. Saya tidak suka kerupuk, kata seseorang yang lebih lain lagi, karna ia baru datang tapi tidak berniat membeli apapun.

Tiba-tiba saja pedagang menjadi lunglai. Pedagang menggeleng sambil berkata dengan lemah: coklat, wafer dan permen itu belum dijual, itu belum priotitas. Sekarang saya hanya menjual kerupuk ini saja. Karena kerupuk ini adalah target penjualan saya dalam minggu-minggu ini. Para calon pembeli bubar seketika.

Pedagang tahu, kerupuk itu sudah basi, alot dan tidak fresh lagi. Kerupuk dengan berbagai jenis ada yang telah kadaluarsa dan ada yang hampir kadaluarsa. Dan kasihannya adalah, calon pembeli sudah lebih paham tentang kondisi kerupuknya. Mereka hanya berpikir, membeli kerupuk sama dengan membuang uang dengan sia-sia.

Ditempat pajangan barang-barang, diam-diam coklat, wafer dan permen menangis sedih. Selain karena kerupuk yang terbengkalai, juga karena merekapun akan bernasib sama seperti kerupuk. Disimpan dan ditahan untuk kemudian hilang pesonanya karna telah kadaluarsa.

Tugumulyo OKI, 24 Mei 2012

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan