Pages

Minggu, 30 Juni 2013

BULANKU TURUNCU

Oleh: Rika Januarita Haryati

Aku ingin ke bulan, katanya. Aku tersenyum. Aku yakin kau bisa ke sana bisikku hati-hati. Bahkan kau bisa memilih mau ke bulan yang mana. Aduhai, mengapa harus bersusah hati kalau hanya ingin ke bulan. Malah bulan yang akan mendatangimu. Tanpa perlu repot-repot, toh dia datang sendiri. Rutin lagi.
Jika ingin ke bulan yang paling cantik dan dewasa itu, tunggulah Januari. Banyak orang yang membuat lagu tentang bulan ini. Bahkan banyak juga orang tua yang memberi nama anaknya dengan nisbat pada bulan ini. Januari adalah bulanku. Apakah kau mau kesana?

Tapi Januari telah berlalu, bukan? Mau secantik apapun, kita pasti akan meninggalkannya. Bahkan terkadang tanpa sempat say goodbye. Ya begitulah. Hidup ini bersiklus. Berputar. Datang hanya untuk kemudian pergi. Lalu datang kembali tapi juga pergi lagi. Dan begitulah seterusnya.

Tentu kau tahu, Januari adalah bulan pertama. Bulan yang paling dinantikan. Ia adalah pionir. Ada sebelas bulan yang ia pimpin berbaris di belakangnya. Bulan lain takkan berani mendahului datang sebelum ia menghabiskan masanya.

Januari dinisbatkan sebagai tahun yang baru. Setiap Ia datang berarti tahun harus berganti. Semua orang berlomba-lomba membuat program hidup selama setahun nanti. Meskipun ada yang kukuh dengan prinpsip let it flow like water. Tak perlu sibuk membuat agenda setahunan. Toh banyak hal tak terduga yang bakal terjadi. Dan aku baru sadar. Ternyata aku kehilangan agenda yang telah kurencanakan untuk tahun ini. Maka, sekarang hanya melaksanakan poin-poin besar yang kuingat. Selebihnya, aha, let it flow like water.

Bermacam tingkah polah orang dalam merayakan Januari. Ada yang sibuk berpesta padahal bencana nasional baru saja melanda. Ada yang mengadakan dzikiran. Ada yang merenung. Ada yang cuma bengong. Ada juga yang menghabiskannya di rumah sakit. Ya namanya juga rupa-rupa kehidupan.

Januari adalah bulanku. Bulanku yang turuncu (orange). Bulan yang menawarkan keramahan sekaligus semangat. Penuh gegap gempita dan gelora. Membungkus cita-cita dalam optimisme. Cerah meski sesekali rinai.

Bulan ini jua yang membasuh luka-luka. Mengobati segala kerinduan. Membentangkan harapan. Yang paling terpenting, di bulan ini aku mendapat banyak hadiah yang paling indah. Doa. Aku didoakan orang-orang, tulus tanpa kuminta. Mendoakan agar aku selamat dunia akhirat. Agar umurku berkah. Mereka ingat pada bulan ini saja aku sudah bahagia apalagi ditambah doa. Doa yang baik adalah cermin hati seseorang yang baik. Yang selalu berharap agar saudaranya selalu berada dalam kebaikan. Oh, terima kasih banyak.

Aku tahu, laki-laki terkasih meninggalkanku pada bulan ini. Aku masih merasakan kesedihannya hingga sekarang bahkan sampai kapan pun. Setiap mengenangnya, airmataku berderai. Seolah ingin membelai sayang dan menyuruhku bersabar. Karena ia tak mungkin memintaku untuk melupakannya. Bukan, bukan karena aku tak ikhlas. Tapi dia memang sangat berharga dalam kehidupanku.

Dia mengajarkanku tentang kejujuran bahkan saat aku belum memahami kosakata yang banyak. Ia yang mudah tersenyum. Ia yang tak pernah sekalipun kulihat menangis. Ia yang paling tampan. Ia yang kesabarannya laksana gunung. Ia juga yang menambahkan Januari sebagai namaku. Dan itu adalah nama panggilan kesayangan Pak RT kami. Thank you so much Pa, for everything. Aku sedang membuat hadiah spesial untukmu. Soal Bunda, kau tak perlu khawatir. Ia perempuan terbaik yang pernah kulihat. Ia perempuan pejuang.

Overall, bagiku Januari adalah bulan turuncu (orange). Seperti orange, ia kadang manis, asam, ceria, sendu, namun tetap bersinar. Aku suka Januari. Meski kota-kota meriah dengan segala pesta dan hura-hura tapi sejatinya ia itu sangat bersahaja.

Aku masih percaya, duhai bulanku, kau memimpin yang lainnya dalam perjalanan yang panjang. Semoga kau tak bosan menyaksikan manusia yang beranak pinak namun menyambutmu dengan kebahagiaan semu dari generasi ke generasi. Padahal, sejatinya kau itu sederhana. Tak perlu ada pesta. Tak perlu kembang api. Tak perlu bakar jagung. Karena tanpa itu semua kau telah punya keanggunanmu sendiri. Sinar sendiri.

Ba’da imtihaahun.

Palembang, 14 Juni 2013 pk.16.23

ANUGRAH

Oleh: Rika Januarita Haryati

Indah di mata, mengapa tak indah di hati? Indah di jiwa, mengapa tak indah di diri? Indah di mata nan indah di hati. Anugrah. Sesuatu yang diberikan Sang Pencipta, itulah anugrah. Setiap kita mempunyai anugrah yang berbeda. Mata jelita, tentu itu adalah anugrah. Badan yang gagah itu pun anugrah. Bagaimana karakter fisik kita, itu anugrah. Lahir dari orang tua mana itu anugrah. Semua yang diberikan pencipta begitu saja adalah anugrah.

Oh, apakah lantas wajib sedu sedan jika pada diri tidak dianugrahi wajah nan cantik, mata jelita, orang tua kaya dan terpandang?apakah lantas wajib menekuk diri jikalau tidak dianugrahi wajah tampan, badan atletis, orang tua terhormat dan tajir? Apakah harus merasa menjadi orang malang sedunia jikalau tidak dianugrahi hal-hal hebat yang dimiliki para pesohor-pesohor yang sering muncul di televisi?

Ya tentu tidak. Karena ada anugrah yang sangat bisa kita usahakan. Anugrah ini jauh lebih hebat dan lebih hakiki. Pesonanya jauh lebih kuat. Pengaruhnya sangat dahsyat. Semua orang boleh memilikinya. Tak peduli bagaimana rupanya, anak siapa, tinggal dimana, suku apa, dan lain-lain. Bahkan umur pun tak menjadi soal.

Baiklah, orang-orang familiar menyebut anugrah ini dengan inner beauty. Apa saja perangkat inner beauty? Attitude, sikap dan pemikiran. Sopan santun itu jauh lebih mempesona ketimbang cantik tapi attitude-nya amburadul. Lemah lembut, penyayang, tulus itu jauh lebih keren ketimbang tampan, kaya, tapi kasar, acuh, sombong.
Memang sih akan lebih keren lagi kalau wajah rupawan, kaya, terhormat, terpandang ditambah baik, sopan, ramah, emosinya bagus, religius, murah senyum dan dewasa serta bijaksana pemikirannya. Itu kerennya pol. Tapi sayangnya, zaman sekarang ini agak susah menemukan permata mutu manikam seperti itu. Yang sering terlihat itu, kalau kaya cenderungnya sombong, gengsi tinggi, tinggi hati (halah ini apa bedanya dengan sombong ya..). Kalau cantik atau tampan cenderungnya meremehkan orang yang menurutnya tidak rupawan. Kalau anak orang terpandang cenderung bergaya selebritas. Pengen tampil melulu, ups.

Baik kembali ke anugrah yang bisa diusahakan tadi. Semua bisa diusahakan. Kalau memang mau. Mau mempunyai sifat sabar. Tak ada usaha yang lebih mumpuni selain selalu bersabar dalam menghadapi ujian, kemarahan, ketergesa-gesaan. Kalau ingin mempunyai sifat yang dermawan ya tidak ada cara lain selain berbagi dengan orang lain. Kalau ingin religius, mau tak mau harus membiasakan diri dengan aturan-aturan dalam agama. Tapi pasti berat. Ya iyalah. Dimana-mana yang namanya awal, pasti terasa berat. Tapi lama-lama kita akan terbiasa. Lama-lama terasa ringan. Ibarat membawa beban lima kilo, awal-awal tentu saja berat. Tapi jika sudah terbiasa akan terasa ringan. Bahkan bisa jadi ketika bebannya ditambah pun kita tidak merasa berat.

Ajaibnya, banyak manusia yang lebih tertarik dengan anugrah yang memancar dari dalam ini. Orang-orang inner beauty ini lebih kita butuhkan untuk menjadi teman karib. Bukan hanya teman sekedar have fun. Dan kebanyakan nih, hubungan kita dengan orang-orang yang memiliki anugrah inner beauty ini akan terjalin jauh lebih lama
ketimbang yang hanya sekedar memiliki anugrah outer beauty.

Palembang, 5 Juni 2013 pk. 06.24

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan