Pages

Minggu, 09 Januari 2011

AKU BANGKIT! UNTUK INDONESIAKU…

Oleh: Rika Januarita H

Kami bangga menjadi orang Indonesia…
Karena kami memiliki pemimpin yang melindungi martabat bangsa
Pemimpin yang marah ketika tanah air kami di kangkangi orang
Pemimpin yang garang ketika rakyatnya ditindas orang
Kami hidup dengan menaruh kepercayaan
Kami berjuang dan bersabar
Kami mengusir para meneer
Bersama para pahlawan
Dulu sekali…

Kami bingung menjadi orang Indonesia…
Kami telah merdeka,
Tapi kami masih ditindas oleh rezim otoriter
Kami merana dan saling hilang kepercayaan
Kami menjadi spionase bagi yang lain
Bahkan bagi ayah, ibu, anak dan kerabat sedarah!

Kami hilir mudik dengan mata yang selalu was-was
Dengan dada yang berdebur menghantam
Dengan mulut yang saling terkunci
Bersuara adalah hal yang kami benci
Karena membawa petaka kematian

Rekayasa ada dalam segala ranah kehidupan
Kemiskinan dibahasakan sebagai kesederhanaan,
Padi hijau dicat kuning keemasan,
Gelandangan kereta ditertibkan,
Kaum termarginalkan disingkirkan,
Untuk sementara…
Selama 32 tahun…
Demi “asal bapak senang”

Kami malu menjadi orang Indonesia…
Karena marwah kami direnggut orang,
Dilecehkan orang,
Dipandang sebelah mata
Dan dicampakkan harga diri kami yang compang-camping…

Lalu, perubahan bergulir…
Pemimpin bergilir
Mereka memenangkan tiket untuk menduduki kursi panas
Hingga mata dan hati pun ikut memanas
Dengan lantang, sang pemimpin berjanji pada sejarah
Untuk pantang menyerah…
Menjalankan amanah rakyat!
Meski ia tahu hanya mendapat sedikit dukungan dari pejabat disekelilingnya
Kata-katanya dianggap guyon yang paling lucu
Bahkan suaranya kini makin mendayu sendu
Hingga sayup-sayup tak sampai

Konstelasi politik memanas,
Ekonomi collaps, korupsi menuju puncak, hukum kehilangan taringnya…
Rakyat berang!
Menyuruhnya mundur dari jabatan kenegaraan
Rakyat mem-black list nama beratnya
Mosi tidak percaya bergema dimana-mana

Sang pemimpin pun merenung
Semua orang seolah menghujat kepemimpinannya
Ia menitikkan air mata
Kisi hatinya tersayat sembilu
Luka menganga begitu dalam
Namun ia tetap tersenyum

Ternyata sulit menjadi orang nomor satu di negeri seribu pulau ini
Dengan seribu bencana melanda
Seribu topeng busuk mengelilinginya
Seribu noda dari orde baru menjilat-jilat kakinya
Memohon agar tetap “menghias” wajah Indonesia

Merah putih merana
Hanya terkibar lesu hari senin
Pertiwi menjerit
Mengingat pengkhianatan putra-putra bangsanya
Meninggalkan borok-borok kebiadaban

Tapi bagi kami, si proletariat, tetap bisa tersenyum
“Indonesia harus bangkit!”,
kami yakin estafet perjuangan ini akan dilanjutkan
Dengan pemimpin bernaluri pahlawan
Karena,
100 tahun telah cukup untuk mendidik sang pahlawan peradaban

Pahlawan..,
100 tahun kami merindu kau
Yang dikandung oleh kesucian,
Dilahirkan oleh pengorbanan dan cinta,
Dibesarkan oleh keberanian dan kesabaran…

Kami setia menanti sang pahlawan akan mengumumkan kebangkitan bangsa,
Indonesia bangkit!

Kami merasakan batinnya bergemuruh!
Dalam remang menitikkan air mata,
Terngiang wasiat Umar bin Abdul Aziz
Yang harus segera ditunaikan:
“sungguh, aku memiliki jiwa perindu.
Jiwa merindukan kepemimpinan, maka aku mendapatkannya.
Dan sekarang, jiwa ini merindukan surga.”

Kami bahkan mengerti risaunya,
Bisakah aku? Tanyanya pada sepi
“itu mungkin, dan bisa kita lakukan!” nasehat Ahmadinejad meyakinkannya

Sang pahlawan kembali bangkit
Berdiri tegak menantang zaman
Dengan garang Ia berkata:
“Bangkit itu aku…
Untuk Indonesiaku…!”

Dengan berapi-api Ia menguncang kesadaran kami:
“Wahai tunas-tunas pahlawan peradaban,
Menitislah kita sebagai pahlawan
Agar hidup kita dapat menjadi anugrah terindah untuk Indonesia…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan