Pages

Selasa, 30 September 2014

HIPOTERMIA

Oleh: Rika Januarita Haryati

Aku mengenal dengan jelas kata diatas ketika masih di awal-awal semester kuliah. Saat aku mengikuti kegiatan Perkemahan Sandhiyudha (PERSANDHA) di Danau Pandu yang diadakan oleh dewan racana Pramuka UNSRI. Ketika itu hujan turun dengan sangat derasnya. Menerjang tenda-tenda kami. Sampai banjir dimana-mana. Basah semua. Termasuk baju-baju ganti. Ternyata bukan hanya hujan tapi juga angin. Sudah basah kuyup ditimpa angin pula. Aku menggigil.

Waktu diperkuliahan tentang keadaan mekanisme suhu tubuh ini sudah dibahas. Tubuh kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin. Ini berbahaya. Otot tubuh akan berkontraksi sebagai usaha menghasilkan panas. Detak jantung melemah. Bicara melantur. Bahkan mungkin berhalusinasi. Bagaimana cara mengatasinya? Aku harus segera menghindari sumber suhu dingin atau berselimut. Saat itu sedang hujan deras dan ‘badai’. Jangankan selimut, baju gantipun tak dapat dipakai. Bagaimanalah coba?

Kakak kami menawarkan baju ganti. Baju kaos laki-laki. Bagaimanalah bisa memakainya. Aku berjilbab, sedang lengan baju itu cuma sebatas siku. Akhirnya kutolak dengan halus. Mudah-mudahan aku bisa mengatasi rasa dingin yang semakin menusuk.
Kami berkumpul di tenda panggung tempat pertunjukkan. Tempat teraman dari banjir. Sudah banyak yang tidur-tiduran disana. Di sebelah ujung tenda berkumpul para pramuka putra. Tidur. Aduh, bagaimanalah bisa tidur disini, pikirku. Akhirnya aku hanya duduk sambil berusaha memejamkan mata. Menyugesti diri bahwa udara hangat. Tak berapa lama aku segera tersadar. Karena rasa kram dikakiku. Oh iya ternyata aku menopang kepala seseorang di pangkuanku. Tentu saja kepala seorang putri. Kalau yang putra berani seperti itu juga, berarti cari mati.

Aku pasrah saja. Dingin dan kram menyatu. Aku mulai berhalusinasi. Aku berpikir tentang mati. Dingin semakin menusuk ditambah udara malam hari. Dingin yang berlipat-lipat. Apakah aku akan mati disini, duhai Tuhanku? Aku berusaha untuk tetap tersadar. Jangan sampai pingsan. Ayo, bertahanlah ya. Kamu kuat. Suara seseorang seolah berkali-kali memberi semangat. Aku tahu, aku pasti berhalusinasi.

Saat subuh aku terbangun. Kami sholat berjamaah di tenda tersebut. Entah kapan aku baru sadar jika aku sudah tidak merasa dingin lagi. Baru sekarang terasa betapa nikmatnya diguyur hangat mentari pagi. Aku benar-benar tersenyum sambil menatap arah Timur. Dari semalam kau sudah kunanti, bisikku. Pagi kali ini seolah aku baru terlahir kembali. Jadwal hari ini adalah lomba halang rintang. Pasti mengasyikkan.

Aku tidak jadi mati. Hipotermia. Tapi pada akhirnya aku pasti mati. Bahkan meski tanpa hipotermia. Lalu mengapa aku takut mati? Pastilah karena banyak dosa. Tapi mati itu bisa datang kapan saja kan? Berarti aku masih diberi kesempatan.

Selesai halang rintang, aku segera pulang ke kost. Bukan, bukan karena kapok ikut camping ini. Banyak tugas yang harus segera kuselesaikan. Menggambar hasil praktikum pengamatan sel-sel tumbuhan dan hewan. Setelah selesai, kembali aku terpikir tentang mati. Mau mati dimana? Bagaimana cara matinya? Baru kali itu akhirnya aku berdoa. Ya Allah matikanlah aku sebagai husnul khotimah. Dimanapun tempatnya dan bagaimana akhirnya, izinkanlah aku memiliki kesudahan atau akhir yang baik. Amiin.

Hari ini adalah HUT Pramuka. Aku tetap kagum dengan organisasi ini. Banyak kenangan ketika menjadi anggotanya. Masih ingat rasanya kita kami harus melewati malam dengan ‘perjalanan suci’. Perjalanan yang menguji mental. Di jalan tiba-tiba terasa sangat menyeramkan. Horror. Sudah biasa jika ada yang kesurupan. Dan jika tidak sanggup, kami harus segera memberi kode. Syukurlah, tak ada yang menyerah. Cuma terdengar ada yang menjerit karena terkejut. Ketika telah sampai tujuan, rasanya lega.

Selamat HUT PRAMUKA. Terus tumbuhkan semangat patriotik.

Tugumulyo OKI, 14 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan