Pages

Jumat, 01 Juni 2012

BAHAYA DINASTI POLITIK BAGI DEMOKRASI KITA

Dinasti politik merujuk pada sistem absolut kerajaan, yang menjadikan keturunan atau kerabat sebagai pemegang estafet kekuasaan selanjutnya. Ternyata dalam alam demokrasi, sistem dinasti politik ini tetap menjadi sumber inspirasi para elit atau aktor politik.

Sebenarnya, hal yang lumrah dan dapat diterima jika regenerasi kepemimpinan politik dilakukan secara terbuka, fair, jujur dan prosedural. Profesional dan berwibawa. Mengikuti rules of the game yang telah dibakukan. Maka di negara-negara demokrasi yang sudah mapan pun, dinasti politik akan ditemukan. Kita mengenal dinasti Downer di Australia, dinasti Kennedy dan Bush di Amerika, dinasti Bhuto di Pakistan, Gandhi dan Nehru di India.

Namun untuk di Indonesia, pembangunan dinasti politik jauh dari nilai-nilai itu. Disinyalir dinasti politik di Indonesia semata-mata karena sejumlah elit politik kita terkena post power syndrom. Yakni hasrat untuk terus berkuasa. Setidaknya, meski tidak lagi menjabat, para elit tersebut dapat terus mengendalikan permainan di kancah perpolitikan. Tetap menguasai penguasa.
Sehingga para elit dan aktor politik, baik di tingkat nasional maupun lokal berlomba-lomba menyulap keturunan ataupun kerabatnya sebagai pemeran penting di kancah perpolitikan bangsa. Agar hegemoni kekuasaan yang selama ini melingkupinya dapat terus dilanggengkan.

Sesungguhnya praktik dinasti politik ini telah sukses dijalankan oleh Soeharto pada masa Orde Baru. Ia mempersiapkan Siti Hardijanti Rukmana, yang lebih dikenal dengan panggilan Mbak Tutut, sebagai ujung tombak dinasti politiknya. Ia mengangkat Mbak Tutut menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Pembangunan VII serta aktif di Golkar. Soeharto pun mengangkat orang-orang yang akan melanggengkan kekuasaanya sebagai partner politiknya. Pelabelan Keluarga Cendana adalah bukti betapa kuatnya Soeharto memberlakukan praktik nepotisme.

Lalu pasca Soeharto, Indonesia menjadi ladang subur bagi pembangunan dinasti politik, baik di lembaga legislatif maupun di eksekutif, di pusat ataupun di daerah.

Bukan hanya di tingkat legislatif di pemerintahan pusat saja yang lagi terkena ‘demam’ dinasti politik tetapi di tingkat eksekutif tingkat daerah juga mengalami ‘demam’ yang sama.
Tercatat di tahun 2010 yang melaksanakan 244 Pemilukada, yaitu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Sumatera Barat Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau dan Jambi. Sisanya sebanyak 202 Pemilukada Kabupaten dan 35 Kota pada 32 Provinsi.

Politik dinasti di Pemilukada ini bisa dilihat dari tampilnya para istri menggantikan suami, seperti (1) Sri Suryawidati menjadi Bupati Bantul menggantikan suaminya, Idham Samawi; (2) Widya Kandi Susanti menggantikan suaminya, Hendi Budoro, sebagai Bupati Kendal; (3) Anna Sophanah menjadi Bupati Indramayu menggantikan suaminya, Arianto MS Syafiuddin (Yance); dan (4) Haryanti Sutrisno, menggantikan suaminya, Sutrisno, menjadi Bupati Kediri.

Selain itu, ada juga anak yang menggantikan ayahnya seperti Bupati Kutai Kartanegara, Kaltim, Rita Widyasari yang menggantikan Syaukani Hasan Rais, dan Wali Kota Cilegon, Banten, Tubagus Imam Ariyadi yang menggantikan Tubagus Aat Syafaat. Selanjutnya ada nama Rycko Mendoza, putra Gubernur Lampung Sjachruddin ZP yang terpilih sebagai Bupati Lampung Selatan. Masih di Lampung, ada anak Bupati Tulang Bawang, Aries Sandi Dharma yang terpilih sebagai Bupati di Pesawaran.

Bagaimana di Sumatera Selatan ? sama saja. Di DPRD Provinsi periode sekarang saja, terdata beberapa orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat daerah atau mantan pejabat daerah, diantaranya ada nama Lily Martiani Maddari dari Partai Golkar yang merupakan istri Riduan Mukti, Bupati MURA. Ada juga Lucianty Pahri yang merupakan istri dari Bupati MUBA, Pahri Azhari

Selain itu, ada juga Yan Anton Ferdian yang merupakan putera Bupati Banyuasin, Amiruddin Inoed, serta Nadia Basjir yang merupakan puteri dari mantan Ketua DPRD Kabupaten Banyuasin periode 2004- 2009, Basjir DA.
Begitu juga, dari Fraksi PDIP Giri Ramanda Kiemas, putera dari Nazaruddin Kiemas anggota DPR RI dari PDIP. Serta Susanto Adjis Saip,yang merupakan putera dari politisi senior yang juga mantan Ketua DPRD Sumsel dari PDIP, Adjis Saip,
Begitu juga di level eksekutif. Yang paling gress adalah ambisi seorang Dody Reza Noerdin, putra Gubernur Alex Noerdin yang mau maju dalam Pemilukada MUBA, 27 September 2011 nanti.

*********

Ada yang berpendapat, politik dinasti tak ada masalah dalam sistem demokrasi. Bahkan ada yang mengatakan, antara keduanya tak bisa dikaitkan secara langsung. Seorang istri tak bisa disebut menggantikan jabatan suaminya, atau anak mewarisi jabatan ayahnya. Karena baik istri maupun anak, memperoleh jabatan itu lantaran dipilih langsung rakyat. Disebut politik dinasti jika istri atau anak itu mendapat jabatan karena ditunjuk atau ditetapkan, bukan dipilih.

Pendapat ini, bisa benar, bisa juga salah. Benar jika demokrasi semata-mata dilihat secara prosedural. Tetapi salah karena secara substantif, politik dinasti bertentangan dengan demokrasi. Setidaknya ada delapan argumen yang bisa dikemukakan betapa politik dinasti bertentangan dengan demokrasi, atau setidaknya menjadi hambatan yang serius bagi demokratisasi di negara ini yang masih berada pada fase transisi.

Pertama, politik dinasti mengabaikan prinsip-prinsip pemilihan umum yang fair. Para kerabat yang menggantikan posisi incumbent sudah pasti akan mengambil manfaat, sekurang-kurangnya popularitas. Pemanfaatan yang paling berbahaya terjadi jika otoritas dan fasilitas incumbent disalahgunakan secara maksimal untuk memenangkan para kerabat.
Kedua, politik dinasti akan menjadi hambatan serius bagi terealisasinya hak-hak politik rakyat yang seharusnya memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam memperoleh dan memanfaatkan jabatan politik.

Dan, ketiga, politik dinasti juga bisa merusak sistem kaderisasi partai politik. Penguatan institusionalisasi politik kepartaian menjadi terhambat karena peluang kader-kader terbaik partai diambil alih para kerabat yang baik dari segi kuantitas kaderisasi maupun kualitas sebenarnya belum memenuhi persyaratan.

Keempat, dapat menghambat laju demokrasi. Sebagai negara yang katanya demokratis, sudah seharusnya negara kita memiliki berbagai tipe kepemimpinan yang unggul. Hal ini didapatkan dari hasil kepemimpinan masing-masing elit yang memegang tampuk kekuasaan. Rakyatlah yang mengevaluasi kebaikan dan kelebihan setiap pemimpin lalu meramunya sehingga dapat dijadikan rekomendasi untuk kepemimpinan selanjutnya. Adanya praktik dinasti dalam berpolitik hanya akan menyajikan gaya kepemimpinan yang sama saja dari sebelumnya.

Kelima, praktik tersebut dapat mengamputasi regenerasi kepemimpinan yang lebih meluas. Generasi yang tidak memiliki back up politik yang kuat akan kesulitan berkompetisi di panggung politik. Kita akan kesulitan melahirkan pemimpin dari kalangan rakyat biasa. Meskipun ia memiliki pemahaman politik yang baik. Karena semua pos vital dan strategis telah terisi oleh keluarga politikus sebelumnya. Kita akan sulit menemukan wajah segar politikus baru.

Keenam, dinasti politik dapat menyebabkan "tersetir"nya kebijakan yg harus diambil pemerintah demi langgengnya kekuasaan satu-dua kelompok tertentu. Yang pastinya, kita akan semakin sulit untuk benar-benar berdemokrasi. Aktor politik dan kebijakan yang ada, sulit untuk dipastikan terbebas dari kepentingan sebagian golongan bahkan orang perorangan.

Ketujuh, tradisi dinasti ini akan semakin membuka dan memperbesar "celah" bagi Korupsi-Kolusi-Nepotisme.
The last, kedelapan, dinasti politik mampu mengubah tekstur demokrasi sedemikian rupa sehingga bukan lagi sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, program dan ideologi, melainkan pasar transaksi jual-beli kepentingan individu dan kelompok-kekerabatan.

(RJH/SRS : dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan