Pages

Sabtu, 06 September 2014

BETWEEN MOTHER WORLD AND MISS WORLD

Oleh: Rika Januarita Haryati

Ibu, ia tak pernah membayangkan ingin segala tindak tanduknya dicatat dalam sebuah memoar perjalanan bangsa. Ia juga tak pernah menunjuk-nunjukkan betapa wawasan dari pengalaman hidup mereka itu pasti lebih dari jargon Brain. Ia tak juga sibuk kasak-kusuk mengembuskan cerita tentang citra yang high class yang terangkum dengan kata Behavior. Satu lagi, mana pedulilah ia dengan godaan kata Beauty sementara anak-anak di rumah harus dipersiapkan segala sesuatunya untuk pergi ke sekolah.

Brain,Beauty and Behavior itu cuma untuk gadis-gadis cantik yang tinggi semampai. Ditambah dengan kualifikasi dari sekolah yang tinggi. Mereka juga diharapkan telah lulus dari sekolah kepribadian. Yaitu sekolah yang mengajarkan cara menggunakan sendok, garpu, pisau di meja makan. Yang jika kebetulan ada menu dagingnya, maka harus makan dengan tangan kiri. Jika ada supnya maka harus dengan tangan kanan. Dan ketika selesai makan, harus pura-pura mengelap bibir dengan pelan.

Ada juga cara duduk. Bagaimana melipat kaki. Bagaimana bergeming tenang selama harus duduk. Bagaimana tersenyum dengan benar. Lalu tertawa yang menawan. Bercanda yang elegan. Semua dibahas. Like a princess in the palace.

Sedang Ibu-ibu, mana sempa tuntuk petatah petitith sedemikian rupa. Baru saja ganti baju daster, tiba-tiba harus ganti lagi karena terkena pipis bayinya. Baru mau menyisir rambut,anak-anaknya sudah berebut minta disisirkan rambutnya juga. Baru mau makan,anak-anaknya merubung minta disuapin lagi. Bahkan baru mau mandi sehabis memasak di dapur, bayinya menangis keras minta digendong.

Dulu, pernah ada iklan di TV,terdapat sesosok ibu sedang masak. Lalu ia tergopoh-gopoh menghambur ke kamar karena bayinya menangis. Lalu tertatih-tatih sambil menggendong bayinya menuju ruang depan karena telepon berdering. Lalu, bersiap-siap lari ke dapur karena masakannya gosong. Iklan itu menggambarkan sepertinya menjadi ibu itu benar-benar bisa membuat stres. Maklum itu iklan KB. Pada kenyataannya, semakin hari bertambah, ternyata para ibu semakin gesit menjalankan semua perannya. Semakin cerdik ia mengelola konflik rumah tangga. Semakin tajam analisisnya dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Sementara di satu sisi,pemerintah kita cukup abai terhadap peranan ibu bagi peradaban. Antar negara sibuk mengadakan ajang dan kontes putri-putrian. Siapa yang tercantik di dunia sampai ke luar angkasa maka ada Miss Universe. Entah dimana bedanya dengan Miss World. Mungkin Miss World itu khusus untuk yang non luar angkasa. Jadi kontesnya dijamin safety from Alien J. Ada Miss Asian, Putri Indonesia, Putri kampus, None Jakarta, Gadis Palembang, Putri Duyung (kalau yang ini asli cuma dalam imaginasi penulisnya saja). Intinya segala yang berhubungan dengan dunia nge- Miss. The great world for beautiful women.

Memangnya ibu-ibu tidak bisa secantik putri-putrian itu. Absolutely,they can. Tapi masalahnya para ibu-ibu ini tahu mana yang substansial dan mana yang artifisial belaka. Mereka lebih suka belepotan tanah karena mengajari anak-anak berkebun. Atau coreng moreng karena melukis bersama anak-anaknya.Atau mukanya semakin putih oleh tepung karena mencoba resep baru.

Terkadang, ibu-ibu itu terlihat lusuh karena jarang berdandan. Benar-benar cuma suaminya saja yang tahu kalau ia cantik. Juga terlihat sangat sederhana pemikirannya. Serta bersahaja sekali cita-citanya. Ia ingin anak-anaknya menjadi orang sukses. Titik. Nah, mana bisa orang seperti ini tiba-tiba jadi pemenang Miss World. Dari mana sambungannya.

Yah, begitulah persangkaan kita. Yang tak tersorot berarti tak perlu dikagumi dan diapresiasi. Sedang untuk yang “semua mata tertuju padamu” kita mengelu-elukannya sedemikian rupa.Padahal hasil dari semua kontes itu apa ada yang berani ke Palestina,menyatakan dukungan kemanusiaannya atas nama bangsanya yang cinta damai? Apa ada yang turun tangan atas nama bangsanya membantu korban-korban bencana. Apa ada yang hadir dalam demo protes pelanggaran HAM atas Palestina, Somalia, Mesir, juga Rohingya? Lihat saja, kehadiran mereka itu paling banyak di iklan-iklan kecantikan. Mereka tak akan absen di acara-acara great party or standing party. Apalagi acara yang berhubungan dengan media. Mulai dari jadi penyanyi, presenter atau bintang tamunya. Pokoknya mereka sibuk karena multi talenta.

Lalu apa sumbangsih para putri atau miss tersebut untuk membaikkan dan mengharumkan nama bangsanya? Saya tahunya, kalau jadi Miss Universe berarti sudah siap kontrak jadi bintang iklan C-one hundred (kalau tidak salah). Itu jelas bukan pariwisata. Setelah itu biasanya mereka jadi traveler, jadi duta bagi negara. Pokoknya hidupnya asyik punya. Apalagi kalau sudah habis masa jadi putri, bisa langsung jadi politisi. Kan syaratnyacuma dua: terkenal dan banyak uang. Urusan lain-lain diurus di belakang layar.

Tapi mudah-mudahan tidak semua putri itu begitu. Terkadang kasihan juga melihat mereka. Seperti boneka, dibawa kemana-mana. Apalagi tindak tanduknya harus sesuai dengan instruksi dari instansi yang membawahinya. Bahkan ia akan bicara apa di hadapan khalayak, itu semua harus didiskusikan dengan pamongnya.

Bagaimana dengan para ibu? Memangsih kehidupan ibu-ibu sepertinya jauh sekali dari image beauty, popular, parties and glamour. Jarang ketemu orang-orang hebat. Berbeda sekali dengan para putri yang bisa ketemu kepala-kepala negara, kaum jet set, para triliyuner, dan orang-orang hebat dunia. Bisa liburan ke luar negeri untuk misi pariwisata. Para ibu hanya berputar-putar memeras otak agar kehidupan tetap berjalan. Meski harga sembako mendaki bukit atau SPP sekolah anak-anak yang moreket ke angkasa.

Ada juga sih ibu-ibu yang hidupnya hanya berputar-putar di salon, komunitas jet set, shopping, gossip, pokoknya gaya hidup kalangan atas yang tidak punya visi hidup yang jelas. Meski ada juga ibu-ibu yang kaya raya luar biasa, tapi pengabdian kepada keluarga dan masyarakat juga luar biasa.

Jika mau dibandingankan dengan para putri, para ibu ini lebih bisa diandalkan untuk menjadi salah satu tiang negara. Para ibu bekerja lebih tulus dalam visi peradaban sebuah bangsa. Tak masalah meski mereka tidak disematkan mahkota berlian diatas kepalanya. Mereka adalah pejuang tanpa euphoria.

Yakinlah, tidak ada kontes putri-putrian yang benar-benar menomorsatukan otak. Mau otaknya seperti Einstein sekalipun kalau tidak cantik, maka silahkan get out. Mau akhlaknya luar biasa tingginya sekalipun, kalau tidak cantik, silahkan tutup pintunya dari luar. Yang dinilai itu cuma cantik. Your face and your body. Makanya ada kontes yang mengharuskan peserta itu melenggak-lenggok dengan hanya berbikini.

Well,terkadang kita tidak sadar sedang terjerat korporasi gurita dunia. Yang paling banyak meraup keuntungkan dari kontes putri-putrian itu adalah cosmetic corporation. Kemungkinan pabrik kosmetik inilah yang tidak ada pernah bangkrut. Sedangkan pariwisatanya sendiri, tidak mengalami kenaikan kunjungan secara signifikan. Bahkan kalau kita mau mengecek satu persatu grafik kunjungan pariwisata negara-negara yang putrinya memenangkan kontes, kita akan terkejut, karena bahkan ada negara yang kunjung turisnya merosot tajam.

Wajar sih. Why? Lah memangnya si miss dan putri itu disuruh membuat grand design untuk memajukan pariwisata negaranya? Never.

So,brain, beauty and behavior artinya adalah cantik, cantik dan cantik.

Palembang, 7 September 2013 pk.05.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan