Pages

Rabu, 10 September 2014

MENJADI GURU

Oleh: Rika Januarita Haryati

Menjadi guru itu asyik. Kita bertemu dengan banyak murid. Mereka mendengarkan kita. Mereka memperhatikan kita.Kata-kata kita mereka ukir di kertas yang dikerat menjadi buku. Kita sibuk menjelaskan. Mereka pun sibuk memahat penjelasan kita di atas kertas atau terkadang dalam hati mereka. Mulut kita mungkin capek. Tapi mereka jauh lebih capek. Mata, tangan, otak dan hati mereka harus dalam keadaan sinergis. Kaki kita mungkin pegal. Tapi seluruh badan mereka pun jauh lebih pegal. Mereka duduk di bangku keras selama kurang lebih 8 jam pelajaran.

Saat menjadi guru, yang terpikir dalam benakku adalah bagaimana aku menjadi guru yang baik. Menjelaskan sekaligus memperhatikan. Mengajar juga mendidik. Menggurui namun juga mengayomi. Memarahi tapi menyentuh hati. Memberi tugas juga menghargai. Bercerita dan menyambut guyonan mereka. Suara meninggi namun membakar semangat. Memberi mereka kesempatan bertanya sekaligus berkeluh kesah. Mempunyai hati yang lapang dan sabar.Memberi teladan yang baik. Menjaga lisan agar tak ada yang tersakiti. Aku harus tersenyum lebih dahulu agar mereka pun tak ragu untuk tersenyum.

Kadang terbayang dalam pikiranku betapa sulitnya menjadi mereka. Harus menguasai banyak mata pelajaran. Dari yang otak kiri sampai yang otak kanan. Dari yang tangannya pegal karena menulis terus sampai yang otaknya pegal karena mikir serius terus. Belum lagi PR,tugas-tugas, praktikum dan les. Oh kasihan sekali kalian, nak. Maka aku ingin pelajaranku ini menjadi pelajaran yang ringan. Pelajaran tanpa depresi.

Saat jam pelajaranku dimulai itu berarti adalah saatnya boleh tertawa sepuasnya, boleh berpendapat apa saja.Boleh bertanya apa saja. Boleh menggoda teman dengan guyonan. Bahkan boleh bernyanyi. Tenang, waktu kita takkan habis. Kita tidak akan keteteran mengejar materi. Bagiku, jiwa anak-anak muridku yang bergembira adalah lebih penting dari dari materi-materi itu.

Ya, hati yang bergembira akan terasa lebih lapang. Hati yang lapang akan mudah menyerap ilmu. Apalagi mereka rata-rata murid yang cerdas. Mudah-mudah mereka mampu menguasai semua materi pelajaranku. Dan aku berharap ilmu itu menjadi lebih berkah karena direalisasikan dalam kehidupan nyata.

Menjadi guru itu beramal jariyah.Ilmu kita akan tumbuh seperti sebuah benih padi yang menumbuhkan tujuh tangkai.Lalu tujuh tangkai itu masing-masing menumbuhkan seratus benih padi. Padi itu dipanen. Dibuat bibit lagi. Ditanam lagi, panen lagi. Begitulah seterusnya.Ilmu yang bermanfaat akan terus mengalirkan kebaikan bagi penanamnya bahkan ketika ia sudah meninggalkan dunia ini.

Menjadi guru akan selalu dikenang. Guru adalah orang spesial yang menempati sebuah ruang dalam bilik hati kita. Aku masih ingat ketika kelas satu SD, guruku, Ibu Nur pernah menyisir rambutku. Ibu Ida pernah memintaku menyanyikan sebuah lagu anak-anak.Ibu Maryati pernah menjadi wali kelasku selama dua tahun. Pak Budi pernah menunjukku sebagai salah satu tim untuk cerdas cermat saat kelas 6 SD.

Lalu ada Pak Musolini, itu ayah teman karibku sekaligus guru Matematika ketika SMP. Pak Agus guru yang selalu mengajak tertawa. Pak Amin, guru sejarah yang sangat mengasyikkan. Dari beliau aku jatuh cinta pada sejarah. Pak Bilal, guru agama yang wajahnya bercahaya.Ibu Sri, guru fisika yang nyentrik.

Lalu guru-guru SMA-ku. Ibu Rini,guru Matematika yang menyenangkan, Pak Faishol (alm) wali kelasku saat di kelas IPA. Ibu Itsnaini, guru bahasa inggris yang giginya putih dan rapi sekali. Ibu Dewi, ini guru kimia yang asyik punya. Adajuga sih guru yang serem jarang tersenyum, seremnya bertambah karna ia guru fisika. Haha. Maafkanlah aku. Guru biologiku dulu adalah Ibu Asmanusa dan Ibu Asmaningsih. Ibu Chairani guru bahasa Indonesia yang masih setia dengan cara pengucapan ejaan lama. Namaku yang Januarita pasti berubah jadi Yanuarita. J

Sampai sekarang mereka itu menempati ruang spesial dihatiku. Dalam diriku ini ada hasil dari ilmu mereka. Ada buah dari pengajaran mereka. Terima kasih sebesar gunungpun mungkin takkan mampu menebusnya.

Saat telah menjadi guru, aku berusaha untuk menjadi seperti yang aku idamkan ketika menjadi siswa. Dulu aku berharap belajar dengan hati yang gembira, tidak tegang, tidak ada under pressure, tidak ada caci maki,tidak ada muka masam dari guru. Aku berharap serius dalam belajar namun boleh tertawa dan agak sedikit ribut. Dan yang paling penting, tidak terlalu banyak PR. Haha. Kalau tidak mau susah, ya nggak usah sekolah. Terkadang begitu alibi dari guru-guru lainnya. Hmm, boleh sih susah payah sekalipun asal jangansampai menyusahkan dan memayahkan. Sehingga pada akhirnya murid-murid menganggap bahwa sekolah adalah neraka.

Lalu, apa yang paling menakutkan saat menjadi guru? Yang paling seram adalah saat ilmu kita ini dibelokkan untuk berbuat kejahatan. Kemudian, saat kita salah dalam melukis pemikiran mereka. Mereka tersesat dan akhirnya menyesatkan orang lain. Lalu, jikalau pada akhirnya ada murid berdoa yang buruk-buruk untuk gurunya. Terakhir adalah saat kelakuan buruk kita dicontoh dan diikuti dengan sepenuh hati oleh mereka.

Ya, jadi guru memang asyik. Kita bisa bervisi terhadap peradaban. Namun jadi guru juga seram jika tak mendapat berkah dari ilmu yang bermanfaat. Bahkan jika kita salah dalam mengajar maka sama saja seperti kita meruntuhkan satu generasi masa depan. Wallahu a’lam.

Palembang, 5 September 2013/ Syawal 1434H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan