Pages

Selasa, 02 September 2014

RAJA DAN ULAMA

Oleh: Rika Januarita Haryati

Di zaman dulu, orang yang terhormat adalah orang yang berilmu. Maka ia dipercaya untuk memutuskan perkara penduduk di negerinya. Orang berbondong-bondong datang ke rumahnya demi mendapatkan jawaban atas segala masalah yang menimpanya. Jika ia telah memberi petuah, orang-orang akan melaksanakan. Orang berilmu atau yang biasa mereka sebut dengan ulama adalah orang nomor satu. Kedudukannya di hati masyarakat melebihi raja-raja dan para bangsawan.

Pernah ada seorang raja ingin belajar ilmu kepada kepada seorang yang berilmu. Lalu sang raja menyuruh hulubalang untuk menyampaikan maksudnya kepada sang ulama. Hulubalang segera menjalankan perintah. Sesampainya ia ditempat ulama, ia menyatakan maksud kedatangannya.

“Ya syaikh, raja kita ingin belajar ilmu agama kepadamu, datanglah ke istana besok”, kata hulubalang berapi-api. Sang ulama tersenyum.

“Kembalilah ke istana dan katakan kepada raja bahwa jika ia benar-benar ingin belajar maka ia yang harus datang ke gubuk kami ini.”

Hulubalang heran. “Mengapa begitu ya syaikh?”

Ilmu itu tidak datang sendiri. Ia harus dicari. Maka ia harus didatangi. Begitulah rumusnya. Kau lihat, semua orang yang datang kesini itu, mereka juga berasal dari tempat yang jauh.

Setelah maksudnya tuntas dilaksanakan sang hulubalang pulang dan segera memberi kabar kepada rajanya.Sang raja berang. Namun pada akhirnya ia mengalah karena ia berpikir bahwa apa yang dikatakan ulama tersebut benar.

Keesokan harinya ia datang ke tempat ulama. Sang ulama menyambutnya dan mempersilahkannya duduk. Sang raja bingung karena tidak ada kursi. Sang ulama menunjukkan lantai. Sang raja mau tidak mau harus duduk tanpa kursi.

“Pelajaran pertama ya tholib”.Sang raja celingukan mencari orang yang bernama tholib. Akhirnya ia menyadari bahwa ia hanya sendiri dan itu berarti dirinyalah yang dimaksudkan sebagai tholib. Baru kali ini ia tidak dipanggil sebagai Yang Mulia.

“apa yang akan kau lakukan jika disuatu ketika kau sangat kehausan sementara tidak ada air setetes pun.Tiba-tiba ada yang datang membawa segelas air?” kata sang ulama memberi pelajaran.

“ aku akan menukarkan air tersebut dengan separuh kerajaanku.” Kata sang raja penuh percaya diri.

“limadza ya tholib, mengapa ya tholib?”

“Karena pada saat itu minum adalah hal terpenting dari apapun.”

Sang ulama tersenyum. Ia lalu melanjutkan, “ jikalau ternyata air yang telah kau minum tidak bisa kau keluarkan dari tubuhmu, apa yang akan kau lakukan, ya tholib?”

“ aku akan memberi separuh dari kerajaanku bagi siapa saja yang bisa mengeluarkannya”, kata sang raja mulai berpikir mencari benang merah pertanyaan pertama dengan yang kedua.

“Limadza ya tholib?” Sang ulama lagi-lagi bertanya mengapa.

“Karena mengeluarkan air yang sudah tidak berguna itu lebih penting dari apapun termasuk separuh kerajaan.

“ Ya tholib, apa kesimpulan pelajaran hari ini?"

Sang raja menjawab,” Bahwa segelas air lebih penting dari kerajaanku”. Sang raja tertunduk.

Sang ulama tersenyum dan berkata:“ Bahkan sesungguhnya dunia ini tidak lebih berat dari sepasang sayap nyamuk.Ya tholib, sesungguhnya dalam pengajaran harus ada ketundukkan hati. Dalam belajar, kau adalah murid dan pengajarmu adalah guru. Dalam belajar, orang tidak memandang siapa kau, tapi seberapa dalam yang kau pelajari. Yang terberat ya tholib, bukan kerajaanmu tapi pengamalan dari setiap apa yang telah kaupelajari.” Sang ulama menutup pelajaran dengan senyumnya yang arif.

Sang raja semakin tertunduk. Ia ingat, selama ini ia hanya bersenang-senang di istana tidak peduli keadaan rakyatnya. Ia menganggap bahwa kerajaannya adalah segalanya. Dan ia adalah pusat kehidupan dari seluruh yang tercakup di dalam kerajaannya. Ternyata, ia baru sadar, kerajaannya bahkan tidak lebih besar daripada segelas air.

Begitulah pula kita. Terkadang merasa apa yang kita miliki ini adalah segalanya. Jabatan dan kedudukan kita. Kekayaan kita. Istri atau suami kita. Anak-anak yang sangat cerdas luar biasa. Semuanya mampu membuat kita lupa tentang siapa diri kita yang sebenarnya. Apa yang terpenting dari semuanya. Terkadang kita merasa berlagak bagai raja. Dan akan marah sejadinya jika orang lain tidak tunduk patuh menghiba-hiba. Padahal sejatinya,bagaimana kedudukan kita di hati orang lain itulah yang lebih penting. Dan yang terpenting lagi adalah bagaimana kedudukan kita di hadapan pencipta kita.

Maka, kedudukan orang-orang berilmu dan ilmunya bermanfaat adalah lebih penting dari pada kedudukan orang kaya yang hanya sekedar memikirkan dirinya sendiri. Namun kedudukan orang kaya yang dermawan adalah lebih penting dari kedudukan orang yang berilmu setinggi gunung tapi miskin pengamalan dan pengajaran. Wallahu a’lam.

Palembang, 20 September 2013 pk. 14.20 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan