Pages

Selasa, 19 Agustus 2014

AKU HANYA MUSAFIR (PART III)

Oleh:Rika Januarita Haryati



Aku hanyalah musafir. Aku sadar, bahwa apa pun yang terjadi aku tidak bisa terus tinggal menikmati tempat persinggahan. Aku tidak mungkin duduk bersantai lama-lama. Juga tidak mungkin untuk terus-terusan tidur mendekam tanpa peduli bahwa hari-hari telah berlalu.



Memang, ada kalanya badan ini terasa sangat berat untuk bergerak melanjutkan ‘perjalanan suci’. Terpekur kadang hanya terpaku di balik kehangatan dan kenyamanan tempat peristirahatan. Oh, bagaimanalah bisa sampai tujuan jika hawa nafsu ini diperturutan? Dengan langkah gontai mulai berdiri menyambut sinar matahari pagi. Dengan wajah sendu mengucap selamat tinggal kepada tempat persinggahan. Oh hari, jangan tinggalkan aku. Aku mau menyusulmu. Selalu begitu niatku. Meski pada akhirnya kakiku hanya berjalan di dalam mimpi.



Ada kalanya aku akan mengevaluasi segala yang terjadi dalam setiap hari-hariku. Tapi ada saatnya aku lupa melakukannya. Ada kalanya ketika malam tiba, kuresapi kelap kelip bintang yang bertaburan. Mereka itu petunjuk jalan. Mereka juga cantik. Tapi mereka bersembunyi pada siang hari. Ada kalanya ketika siang, kuintip matahari yang cerah namun menggarang. Gagah namun membakar. Rumput-rumput kecil meringkuk layu tak berani meski hanya sekedar menatapnya. Maka, bukankah wajar jikalau raga ini menolak untuk meneruskan perjalanan? Alangkah asyiknya jikalau tetap berada di kerindangan. Ditemani jus dingin dan buah-buahan yang mengandung air yang banyak dan manis.



Oh, apalah daya, ternyata aku hanya musafir. Ada batas waktu dalam perjalanan. Tergambar betapa merugi dan celakanya jikalau aku tak memperbaiki aktivitas dalam perjalananku. Entah berapa keping emas yang nantinya harus kubayarkan ketika kaki ini masih menjejak rumput yang sama. Maka, ayolah wahai diri, terus berjalan. Bergeraklah meski hanya sembunyi-sembunyi.



Aku hanya musafir. Perjalanan ini sangat menyenangkan. Tidak, tak ada yang sudi menaburi jalanan dengan serpihan mawar. Seperti tak ada pula yang sudi mengelu-elukan. Namun, tahukah kau, bahwa orang-orang terdahulu yang berjalan di jalanan ini telah rela menanggung beratnya perjalanan? Mereka memanggul parang besar untuk menciptakan jalan setapak. Mereka menanam pohon-pohon di sisi kanan dan kirinya. Agar ada tempat peristirahatan untuk para musafir di kemudian hari. Agar ada air yang tersimpan di akar-akarnya. Bahkan terkadang diantara mereka masih ada yang sempat menanam bebungaan agar ada lebah yang hinggap. Agar ada madu yang bisa kami nikmati nantinya.



Mereka pastilah para musafir yang baik. Mereka bertebaran di muka bumi namun mereka tidak merusaknya. Mereka memelihara bumi. Mereka percaya bahwa ada hubungan timbal balik antara bumi dengan manusianya. Bahkan mereka rela tetap melarat karena tidak mau mengeruk tambang emas di perut bumi.



Aku hanya musafir. Banyak buku yang harus kubaca. Banyak kisah yang harus kudengar. Banyak kota yang harus kulihat. Banyak pintu yang harus kulewati. Banyak jenis tanah yang harus kupijak. Banyak penelitian yang harus kulakukan. Banyak bahasa yang harus kupelajari. Banyak tanaman yang harus kusentuh. Banyak hal lagi yang sampai saat ini belum kulakukan.



Jujur, sebenarnya aku malu menyebut diri ini sebagai musafir. Aku belum berjalan kemana-mana. Sudah terlalu lama aku singgah. Tapi, sekali lagi pada dasarnya kita semua hanya musafir.



Palembang, 6 Februari 2014 pk 10.17 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan