Pages

Minggu, 24 Agustus 2014

I LOVE POEM

Aku suka puisi. Puisi bagiku ibarat kata-kata yang dilukis di langit-langit hati. Maka ia bisa membuat jiwa menggelora. Iapun bisa membuka ruang kesedihan. Air wajah kita seketika bisa ia porak-porandakan. Mata kita bisa ia buat memerah, melotot atau bahkan memejam.

Setiap puisi yang ditorehkan Taufik Ismail, aku suka. Tentang sejarah bangsa kita menuju reformasi atau tentang apa saja. Puisi Gus Mus, aku selalu suka. Ia menggelitik ruang religius kita. Menohok langsung ke jantung. Puisi Ahmadun Y Herfanda, oh betapa lembut puisinya menggedor kepongahan kita. Puisi Helvy Tiana Rosa, citarasa antara seni dan semangat keislaman. Puisi Sapardi Djoko Damono juga kusuka. Romance-nya sangat kental. Semuanya indah. Semua aku suka.

Adalah puisi yang selalu berhasil membuatku merenung. Terkadang membuat mataku berkaca-kaca. Puisi selalu terdengar merdu meskipun tak disenandungkan bahkan meski tak diiringi oleh musik. Puisi juga menjadi penasehat yang selain bijak juga lembut dan anggun. Meski sesekali ia memang sangat garang. J

Oh ya, puisi Wijhi Tukul dan Gie juga kusuka. Dimana puisi mereka berbicara tentang kehidupan yang banyak menghabiskan waktu di jalan-jalan. Dimana puisi mereka membuka mata yang terlelap. Lawan segala bentuk penindasan.

Puisi adalah cermin. Tempat kita menatap realitas kehidupan di sekitar kita. Puisi pun terkadang memberitahukan akan keberadaan kita di tengah-tengah kehidupan.

Aku suka sembahyang rumputan-nya milik Ahmadun Y Herfanda. Subhanallah, aku tersadar bahwa rerumputan adalah kehidupan yang sangat kecil, tapi siapa yang bisa memusnahkannya? Tak seorangpun dapat melumpuhkannya. Jikalau kita mampu membumihanguskannya, itu hanya pertanda bahwa petaka akan segera datang menyambangi kita. Bayangkan jikalau tidak ada rerumputan sehelaipun di bumi ini. Artinya tanah telah tertutup semua oleh semen dan keramik yang tidak dapat ditembus oleh air. Oh, banjir akan datang. Banjir akan datang. Bersiap-siaplah melayarkan kembali perahu Nabi Nuh.

Di zaman dulu, orang baru bisa disebut hebat jika ia bisa bersyair. Raja-raja selalu meminta para penyair untuk menyampaikan syair tentang kehebatan dirinya. Maka para rakyat jelata mengenal bagaimana raja mereka melalui syair. Imbalan bagi penyair juga sangat besar. Bahkan di zaman kekhalifahan, raja bisa memberinya seribu dinar untuk satu kali bersyair.

Mengapa cerita Laila-Majnun menjadi legenda hingga sekarang? Bisa jadi dikarenakan ke-majnun-an (kegilaan) Majnun dalam bersyair untuk Laila. Bahkan orang-orang sampai menggelarinya Majnun. Nama aslinya adalah Qais. Aku sendiri pun hampir lupa nama aslinya. Paling mudah mengingat Majnun-nya. J

Banyak orang-orang besar yang menjadi penyair. Siapa tak kenal Muhammad Iqbal? Khalil Gibran? Banyak pula orang-orang akhirnya mati gara-gara syairnya.

Saking indahnya bahasa Al Quran, orang-orang banyak yang mengatakan bahwa ia dibuat oleh penyair. Bahkan ada juga yang mempersepsikannya sebagai ucapan tukang tenung karena ia mampu membuat orang yang membaca atau mendengarnya menjadi menangis atau tiba-tiba merasa gembira. Maka dalam Al Quran surat al Haqqoh: 40-43, Allah membantah persepsi orang-orang tersebut mengenai al Quran. Artinya:

(40) Sesungguhnya ia (Al Quran itu) benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.

(41) Dan ia (Al Quran) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.

(42) Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya.

(43) Ia ( Al Quran) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.

Ketika berselancar via bloger (dulu sekali), aku menemukan ada satu puisi yang berbicara tentang hujan. Judulnnya Rinai. Puisinya indah sekali. Tapi sangat disayangkan aku tidak tahu siapa penulisnya. Sampai sekarang puisinya kusimpan.

Palembang, 30 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan