Pages

Rabu, 13 Agustus 2014

RANGKAI CERITA SEDERHANA

Oleh: Rika Januarita Haryati


Cerita 1


Hari itu aku membagikan kertas hasil ujian anak kelas XII IPA. Tiba-tiba seorang muridku berdiri sambil membawa kertas ujiannya. Ibu, nilainya salah, katanya. Aku segera memeriksa kembali hasil penilaianku. Aku tidak mendapatkan hal yang salah dengan penilaiannya.

Aku:”Apanya yang salah, Nurul?”

Muridku:“Ibu, jawabanku yang nomor sepuluh ini salah, tapi Ibu benarkan. Jadi seharusnya nilaiku bukan 88 tapi 86.”

Aku tertawa dalam hati. aku tersenyum kepadanya.Oh, my sweetheart, you’re so sweet.

Aku:“Oh, that’s okay. That isn’t a problem.Please, sit down.” Ia segera duduk kembali.


cerita diatas sangat sederhana. Hanya cerita seorang anak yang merasa tidak berhak atas kelebihan nilai yang didapatkannya. Cuma dua poin memang. Tapi kucatat baik-baik peristiwa itu dalam hatiku. Mungkin hal-hal inilah yang membuatku jatuh hati untuk tetap mengajar disini. Sungguh beruntung aku berjodoh dengan anak-anak yang masih memiliki kejujuran. Sungguh, negeri ini bolehlah tersenyum. Wajah negeri ini bolehlah cerah merona ke depannya. Insya Allah.


Kejujuran adalah emas.Tidak semua orang memilikinya. Hanya hati yang kaya saja yang bisa menyimpan emas itu di dalamnya. Bayangkan, padahal anak-anak yang lain dengan segala daya upaya untuk mencari contekan agar dapat lulus dan mendapat predikat kompeten.Ia memilih berbeda. Berbeda berarti menanggung resiko. Akan ada anggapan yang macam-macam, seperti tidak setia kawan lah,sok pintar lah bahkan sok alim lah. Bagiku, anak-anak yang jujur adalah harta karun bangsa ini. Mereka generasi spesial. Harus kita jaga. Jika tidak kita jaga, maka ia akan hilang.


Cerita 2


Saat itu aku berdiri didekat pinta kantor. Tiba-tiba seorang anak memberikan sebuah bungkusan kado kepadaku.Keningku berkerut. Well, today isn’t my birthday. “Untuk siapa?,” kataku. Jawabannya justru membuat keningku tambah berkerut. Untuk Ibu lah, katanya. Aku berpikir ulang, dan benar waktu itu bahkan bukan bulan Januari.

Me : Ibu? Ibu siapa?

Mystudent : Ibu Rika dong.
Me : Dari siapa ini?

Mystudent : Dari Ibu.

Me : Haa, Ibu siapa?

Mystudent : Dari Ibuku.
Me : Oh thanks. Btw, who’s ur mother’s name?

Mystudent: : Rahasia (sambil tersenyum sumringah)

Me : Hei, just tell me. Oh, baiklah. Nanti Ibu lihat di data kelas saja.

Mystudent : Emang ada, Bu?


Aku mengangguk.Akhirnya muridku itu permisi meninggalkan aku yang agak kebingungan. Oh,mungkin saja ibunya kenal denganku. Aku segera memeriksa identitas muridku untuk mengetahui nama kedua orang tuanya. Hmm ,ternyata aku sama sekali tidak mengenali kedua orang tuanya, terutama ibunya. Tapi jujur saja, ibu muridku ini sangat keren menurutku. Nanti kalau aku punya anak, aku juga akan memberi kado untuk wali kelas anakku. Tentu saja tidak semuanya. Bukan, bukan untuk menyuap. Tapi hadiah yang meski tidak seberapa,jika yang memberikannya adalah wali murid, alangkah berbahagianya guru yang mendapatkannya. Seolah mendapat penghargaan. Guru seolah tersadar bahwa kedudukannya sangat berpengaruh signifikan terhadap pendidikan anak-anaknya.


Dari hal di atas, aku mengambil kesimpulan bahwa, anak muridku ini menceritakan pengalaman belajarnya di sekolah. Sehingga ibunya menjadi mengenal siapa saja yang mendidik anaknya di sekolah sana. Hal tersebut mengingatkanku ketika aku masih kecil, masih SD. Aku dengan lugas bercerita kepada Papa, bermain apa saja, belajar apa saja, bagaimana guru-gurunya. Kuceritakan juga saat aku bertengkar dengan Guntur,saat aku ke kantin sekolah dengan Intan, dsb.


(Guntur dan Intan adalah teman akrabku di SD. Aku sekelas dengan Guntur selama 8 tahun, sampai SMP. Sementara Intan melanjutkan ke sekolah yang berbeda. Sekarang aku sama sekali tidak tahu dimana keberadaan mereka. Semoga selalu baik.)


Cerita 3


UN adalah momok bagi semua guru yang akan mengawas saat ujian. Bagaimana tidak, para guru akan mengawasi siswa-siswa yang tidak pernah diajarnya. Bukan, bukan itu masalahnya. Mengawas menjadi momen yang tidak mengasyikan jika muridnya ribut sementara kita tidak punya hak untuk mengeluarkan mereka dari ruang ujian. Aku sampai harus memasang wajah cemberut dan super masam saat kulihat gelagat mencurigakan dari siswa-siswa yang berusaha mencontek. Banyak sekali trik mereka ternyata. Dalam hati aku berkata, jikalau siswa ini adalah siswa-siswaku, maka mudah saja bagiku untuk mengeluarkannya dari ruangan. Sementara menjadi pengawas UN, kita ini hanya tamu. Pokoknya selama gerak-gerik mereka tidak tertangkap mataku, kumaafkan saja. Lucunya, ada siswa yang terang-terangan menanyakan jawaban dengan teman di belakangnya. Langsung saja kutegur.


Asli UN ini membuat stress. Bukan hanya siswa yang stress tapi guru juga. Kepala sekolah, diknas, menteri, semua stress. Akankah kestresan ini kita lanjutkan?


UN ini menjadi seperti proyek untuk mengeruk dana APBN. Apalagi dengan adanya Tim Independen UN (TIUN). Lah, selama ujian sebagian mereka tidak mengawasi prosesi ujian. Pas diakhir-akhir jam UN, baru mereka memunculkan batang hidungnya untuk menandatangani ini dan itu. Bayangkan saja kalau satu sekolah TIUN-nya ada 3 orang. Bayaran mereka itu besar sekali lho. Jaman aku mahasiswa dulu, tempat yang dekat dengan kampus saja 100ribu perhari. Kalikan dengan jumlah sekolah di Indonesia. Kalau tempatnya jauh, maka bayarannya bisa berkali-kali lipat untuk transport. Wow sekali kan uang Negara yang kita hamburkan untuk UN ini? Padahal dampak positif UN ini belum dirasakan oleh murid-murid di sekolah. Kalau bikin stress, iya.


Tapi, diantara sejuta ummat yang sedang mengerjakan UN-nya, kulihat seorang siswi berjilbab rapi. Ia tidak kasak-kusuk seperti yang lain. Khusyuk mengerjakan sendiri. Tiba-tiba saja aku berdoa dalam hati: Ya Allah, tolonglah siswa-siswi yang mengerjakan ujiannya dengan jujur. Limpahkan keberkahan atas apa yang dikerjakannya. Aamiin.


Cerita 4


Ketika pembagian rapor,siswaku berdiri untuk menyalamiku. Dimulai dari ketua kelasnya. Ketika siswaku telah dekat, tinggal selangkah lagi, aku buru-buru menyedekapkan tangan ke dada, seperti budaya orang India ketika saling memberi salam. Sambil tersenyum aku berkata: “Maaf ya murid-murid, Ibu tidak bersalaman dengan murid laki-laki”. Dan subhanallah, semua murid laki-lakiku turut menyedekapkan tangan ke dada.


Aku tahu, didalam jabat tangan itu ada doa yang mereka pinta. Aku pun tahu, di jabat tangan itu adakata-kata maaf terdalam. Aku pun tahu, di jabat tangan itu mungkin tersimpan kenangan terakhir karena setelah hari ini kita tidak akan bertemu. Dan aku tidak menyambutnya. Oh, maafkan Ibu ya anak-anakku sayang.


Semoga Allah selalu mengampuniku jikalau ada yang salah dalam proses belajar mengajar. Semoga Allah memaafkan kelalaianku dalam mendidik murid-muridku. Semoga Allah selalu memberiku taufik dan hidayahnya agar ilmu yang telah dikaruniakan-Nya kepadaku dapat bermanfaat secara signifikan. Aamiin.


UNSRI Indralaya, 25April 2014 pk.15.48


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan