Pages

Kamis, 21 Agustus 2014

PARADOKS

Oleh: Rika Januarita Haryati


Di bulan ini, hampir setiap hari hujan. Setidaknya gerimis. Setidaknya langit pura-pura mau hujan. Paradoksnya,air PAM di komplek perumahan kami mati karena kekurangan pasokan air. Disatu sisi,kami ngeri jika air meluap dan membajiri rumah-rumah kami. Di sisi yang lain,kami ngeri jika ‘kematian’ PAM berlanjut. Kami bakalan mati gaya. Tidak bisa mandi, mencuci, bersih-bersih. Padahal itu merupakan aktivitas fundamental dalam keseharian kami.


Dulu memang ada sumur, tapi sudah kami tutup semua. Lahan sumur sudah kami sulap menjadi ruang tambahan sehingga rumah bertambah luas. Alasan klasik. Pada akhirnya, tergantunglah kami pada PAM. Paradoksnya,perusahaan air ini juga tergantung kepada hal lainnya. Jika sudah mati, kami tidak bisa apa-apa lagi. Karena deretan ‘tergantung kepada’ ini panjang sekali jika mau kita paparkan. Sungguh bahaya. Solusi kedepan sepertinya sumur adalah hal yang harus tetap dijaga. Meski ada PAM, sumur adalah pemutus mata rantai ketergantungan terhadap PAM.


Kami tinggal di daerah yang orang-orang sebut dengan Bukit. Paradoksnya, jika hujan terus menerus mengguyur Palembang, maka daerah ‘Bukit’ inilah yang harus was-was. Dulu pernah banjir sampai lutut. Banjirnya sampai semingguan. Jadi, kalau ada yang bilang ‘Bukit’kebanjiran, pertama-tama pendengar akan tertawa menikmati paradoksnya. Selanjutnya mereka tertawa lagi untuk menghibur korban kebanjiran. Selanjutnya tertawa sebagai bentuk solidaritas. Haha.


Paradoks dari semuanya, kudengar seseorang yang sedang berdoa menyentuh kalbu: Oh Tuhan, hidupkanlah air ledeng kami. Oh PAM, hiduplah. Please. Jangan buat kami mati gaya.


Palembang yang selalu hujan tapi disebagian tempat terasa kering, 21 Januari 2014 pk 06.54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan