Pages

Jumat, 29 Agustus 2014

TAK TERTULIS

Oleh: Rika Januarita Haryati

Begitu banyak kata yang tidak sempat terkatakan.Begitu menjulang ucapan yang tidak sempat diucapkan. Kata-kata melupakan dirinya sendiri. Padahal rangkaian kalimat telah berjajar dengan indah. Tinggal menunggu peluit ditiup, maka semua kata akan berlomba berjejalan muntah dari mulut. Namun apalah daya, kata-kata telah menyembunyikan dirinya di ruang gelap dan pengap. Mereka sungguh sudah terlalu malu. Dunia ini sudah hampir hancur karena keganasan kata-kata. Maka biarlah mereka berkontemplasi di gua-gua gelap.Biarkan mereka menyesali diri. Kata-kata pun butuh kesendirian untuk menenangkan jiwanya.

Pernahkah kau membayangkan jikalau kata-kata bisa ditumpuk bagai batu? Maka mereka akan menjulang. Tingginya pasti melebihi Mahameru bahkan bisa melebihi Everest. Oh atau justru menyundul langit. Bahkan kita bisa kehilangan ruang untuk bernapas karena semua telah penuh terisi oleh kata-kata.

Pernahkah juga kau berandai-andai jikalau kata-kata adalah butiran hujan? Maka masing-masing kita telah tenggelam oleh ambisi kata-kata kita sendiri. Betapa luas dan dalamnya lautan yang terbentuk karena kata-kata. Bahkan lautan ini bisa menelan Laut Merah, Laut Mati dan betapa mengerikannya karena mereka juga akan menelan semua samudera di dunia. Semua pohon akan tumbang. Tercerabut terbawa gelombang.Hewan-hewan menggelepar kedinginan. Tak ada burung yang berani mengepakkan sayapnya. Bahkan ikan-ikan akan tersesat oleh badai lautan. Bagaimana dengan kita? Kita adalah yang pertama-tama tertelan oleh lautan kata. Mungkin, takkan ada yang tersisa.

Pernahkah kau bayangkan?

Jikalau kata adalah gunung, lihatlah gunung yang terbuat dari kata maaf. Hanya untuk kata maaf saja. Ya, betapa seringnya kita meminta maaf, betapa seringnya kita melakukan kesalahan. Adakah gunung pemberian maaf kita telah sama tinggi dan menjulangnya? Memaafkan adalah karakter orang yang sabar lagi mulia. Namun bagaimana kita bisa menipu diri sendiri. Tentu saja, kita bisa memaafkan siapa saja, tapi kita takkan pernah melupakannya. Bukankah selalu begitu? Seperti maaf yang diberikan oleh sebatang pohon yang telah ditancapkan paku pada batangnya. Maka ia takkan melupakan sakit saat paku itu kita tancapkan, juga sakit saat paku itu kita cabut. Pernyataan maaf kita adalah permintaan kita untuk mencabut pakunya. Maka memaafkan adalah saat dimana paku-paku dicabut.

Lalu, mana yang lebih baik, membiarkan paku itu tetap menancap atau mencabutnya? Jikalau memang sakit, apakah lebih baik tidak usah meminta maaf dan tidak perlu memaafkan? Oh,itu sama saja artinya dengan menancapkan paku seumur hidup. Saat paku karatan,maka ia akan menjadi penyakit yang akhirnya menggerogoti kehidupan sampai akhirnya mematikan. Kejam memang.

Well, tentu saja kita semua mafhum bahwa tidak semua orang bisa berbesar hati untuk memaafkan. Kita pun tahu,bahwa tak semua orang memiliki keberanian untuk meminta maaf. Apalagi jikalau harus meminta maaf pada orang yang lebih muda, atau orang yang jabatannya berada di bawah. Apalagi jika selama ini ia hanya kita pandang sebelah mata. Antara maaf dan gengsi. Banyak orang-orang yang tak bersedia meminta maaf meskipun ia menyadari kesalahannya. Ya banyak sekali.

Tapi, ternyata banyak juga orang yang memaafkan saja meski orang yang bersalah tidak pernah meminta maaf. Saat kutanya apa alasannya, mereka menjawab bahwa mereka tidak suka memelihara kebencian. Karena kebencian itu akan memburukkan nilai kehidupan mereka. Setiap kata bisa menjadi laknat. Setiap doa bisa menjadi sumpah serapah. Oh, setiap kebahagiaan bisa menjadi tak bernilai karena ia tidak lagi bisa ditampung oleh hati yang memendam kebencian. Maka solusinya adalah just forgive all mistakes. Lalu, sambutlah ketentraman dan kebahagiaan yang datang bertubi-tubi.

Tidak semua hal harus dituliskan, tak semua kata pun harus diucapkan. Namun, tulisan memiliki kekuatannya sendiri. Begitu juga kata-kata. Dimana kekuatan mereka? Saat kita berhadapan dengan para hipokrit dan para pengkhianat. Maka semakin banyak hipokrit dan para pengkhianat yang berada dalam suatu negara maka semakin banyak undang-undang yang harus dibuat. Satu kitab takkan pernah cukup. Mungkin seribu kitab pun masih terasa kurang. Bahkan yang lucunya, kitab undang-undang itu dibuat oleh para hipokrit dan pengkhianat. So desperatest.

Banyak hal-hal besar yang tak tertulis. Banyak sejarah lewat begitu saja. Banyak para tokoh besar tidak kita kenal karena tak tertuliskan. Banyak hal yang seharusnya ditulis namun tak tertulis. Tapi lebih banyak lagi hal-hal yang tak perlu ditulis, tapi kita lihat berserakan dimana-mana. Aneh ya?

Sekarang, kita telah menebang berjuta hutan. Memangkas semua ranting pohon untuk dijadikan pena.Kita pun telah mengeringkan banyak lautan untuk menjadikannya sebagai tinta.Apa yang ingin kita tulis? Sejarah besar? Biografi orang besar abad ini?Janji-janji? Atau hal remeh bin temeh?

Hei apa menu makan siang kalian hari ini? :)

Palembang, 4 November2013 pk. 06.28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan