Pages

Rabu, 20 Agustus 2014

NOVEL DAN PENGHAKIMAN

NOVEL DAN PENGHAKIMAN



Oleh: Rika Januarita Haryati



Waktu itu aku sedang asyik membaca novel terakhir dari Leo Tolstoy. Biasa, untuk mengisi kekosongan waktu ketika menunggu jam pelajaranku selanjutnya. Lalu datang temanku yang ternyata penggemar novel Leo Tolstoy. Ia duduk di hadapanku dan bercerita panjang lebar mengenai novel-novelnya yang seabrek. Dua lemari isinya novel-novel terkenal. Gila.



Aku mendengarkan betapa impresifnya dan bergairahnya saat ia menemukan orang lain yang membaca novel padahal bukan orang sastra. Ceritanya berputar-putar sampai jauh dan kemana-mana. Aku tetap sesekali membaca sambil sesekali memberi tanggapan.



Aku teringat saat ia menyinggung tentang mengapa guru-guru bahasa lebih merekomendasikan karya-karya Nh. Dini ketimbang Ahmad Tohari. Padahal, menurutnya Ronggeng Dukuh Paruk itu merupakan karya yang berlatar sejarah ke-Indonesiaan. Baru saja aku membuka mulut untuk menyatakan beberapa kemungkinan penyebab dari pertanyaannya, ia sudah berbicara lagi,sehingga akhirnya aku diam saja.



Akhirnya aku tidak konsen lagi membaca novel. Bersamaan dengan itu, bel pergantian jam berbunyi. Aku segera masuk kelas.



Ketika aku tidak ada di kantor,ternyata banyak kejadian yang tidak kuketahui terkait obrolan yang baru saja berjalan. Temanku yang guru Bahasa tidak suka jika ia disepelekan. Tentu saja ia mendengarkan langsung percakapan kami. Obrolan satu arah sih sebenarnya.



Temanku yang tersinggung tersebut segera bercerita dengan temannya yang juga orang Bahasa. Lalu mereka bersepakat untuk mengintrogasi atau mentabayuni temanku yang pencinta novel.



Singkat cerita, temanku yang pencinta novel meminta maaf atas kekhilafannya. Masalah selesai. Tetapi masalah baru muncul. Apa masalahnya? Saat bertemu denganku, ia tidak senyum seperti biasanya. Bahkan saat bertemu temanku yang orang Bahasa, ia melengos. Aku jadi berpikir, apakah ia pikir aku mengadukannya? Oh my God.



Sebelum ‘memusuhiku’, ia samasekali tidak bertanya kepadaku. Sikapnya seolah menuduhku bahwa aku yangmengadu domba. Oh, alangkah kekanakannya. Padahal haram bagiku untuk melakukannya.



Sempat terpikir untuk meminta maaf kepadanya tapi biarlah waktu yang menjelaskan kepadanya apa yang terjadi sebenarnya. Sungguh, ketika melihatnya rasanya tak sudi untuk meminta maaf. Kecuali kalau ia berani menyuruhku meminta maaf maka aku akan meminta maaf karena telah mendengarkan ceritanya pada waktu itu sehingga memancing emosi orang lain yang juga belum dewasa. Haha.





Aku melihat memang banyak orang-orang yang menjadi hakim atas orang lain. Mereka menjatuhkan vonis tanpa perlu mendengarkan keterangan. Mereka menghukum tanpa bertanya tentang kebenaran yang ada. Tapi yang lebih banyak adalah orang-orang yang tidak mau menjadi hakim atas dirinya sendiri. Tidak berani menyaksikan bahwa dirinya bersalah.



Palembang, 12 Januari 2014 pk.08.28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anak hujan

anak hujan
ceria dibawah sentuhan manis sang hujan